Prof. Dr. Made Agus Dharmadi, S.Pd., M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. Made Agus Dharmadi, S.Pd., M.Pd.

Baru-bari ini, melalui pidatonya, Presiden Jokowi menyinggung tentang angka stunting di Indonesia yang masih cukup tinggi sebesar 24,4% (5,33 juta balita) pada tahun 2021, hal ini sesuai dengan hasil studi Balitbangkes Kementerian Kesehatan dalam Status Gizi
Balita Indonesia (SSGI) 2021. Lebih lanjut Presiden mengharapkan pada tahun 2024 angka stunting menurun menjadi 14%, dengan kata lain setiap tahun musti terjadi penurunan minimal 3%.

Kejar target penurunan angka stunting ini menjadi keniscayaan. Penurunan angka stunting salah satunya diupayakan melalui upaya-upaya pencegahan. Berdasarkan penelusuran
berbagai sumber, pencegahan dilakukan salah satunya melalui beberapa intervensi terhadap para perempuan/ibu hamil pada kondisi sebelum melahirkan hingga setelah melahirkan dalam kaitannya memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya. Intervensi ini sangatlah penting mengingat penyebab utama stunting adalah kurangnya gizi pada ibu hamil dan balita, hal ini make sense karena pertumbuhan dan perkembangan balita sangat dipengaruhi oleh faktor gizinya.

Baca juga:  Kawal Program Balita Bebas Stunting, Ny drg Ida Mahendra Jaya Sambangi Kabupaten Klungkung

Di dalam upaya pencegahan setelah lahir, selain faktor gizi sesungguhnya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita juga sangat dipengaruhi oleh kualitas aktivitas fisiknya (Burhaein, 2017). Lebih jauh aktivitas fisik sangat berpengaruh terhadap metabolisme tubuh yang membantu proses penyerapan-penyerapan makanan melalui sel dan jaringan yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak (Adrian,2020). Berbagai hasil riset tentang aktivitas fisik dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan balita menjadi lebih baik dan sehat telah banyak dilakukan.

Mencermati hal tersebut, maka perspektif upaya pencegahan stunting melalui program aktivitas fisik yang berkualitas kepada balita menjadi urgent juga saat ini. Belum lagi, berdasarkan data www.unicef.org, terkait sedentary lifestyle pada anak dilaporkan masih sangat tinggi, karena hampir sebagian besar anak menjalankan sedentary lifestyle dalam kesehariannya. Sedentary lifestyle merupakan suatu keadaan dimana balita menjalani kesehariannya dengan aktivitas fisik yang pasif, seperti duduk diam menonton TV/Youtube/TikTok/, duduk bermain games dan media sosial serta yang sejenisnya (gambaran genarsi Z saat ini).

Baca juga:  Siwaratri dan Pandemi

Hal ini telah menghipnotis anak kita untuk tidak melakukan aktifitas fisik dalam kesehariannya, sehingga sangat mengganggu metabolisme kerja tubuhnya, akibatnya kondisi fisik terganggu dan pada akhirnya menggangu pertumbuhan dan perkembangannya. Aktivitas fisik yang berkualitas merupakan aktivitas gerak yang dilakukan secara regular, sistematis dan berkelanjutan.

Regular dilakukan misalnya selama 3 kali dalam seminggu selama kurang lebih 10-60 menit dengan intensitas yang rendah maupun sedang misalnya dengan berjalan, jogging, melompat serta aktivitas permainan lainnya. Sistematis dimaksudkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan memenuhi prinsip-prinsip berolahraga misalnya berjalan dengan konstan selama 10 menit secara simultan tanpa ada jeda istirahat yang berlebihan.

Baca juga:  Menjawab Diskursus Pajak Hiburan

Sedangkan berkelanjutan dimaksudkan agar aktifitas fisik dilakukan secara berkelanjutan bukan hanya 1 bulan atau 2 bulan semata namun secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan. Membuat program active lifestyle (masyarakat yang aktif bergerak) patut diupayakan dan dilakukan untuk membantu masyarakat dalam hidup bugar dan sehat
sehingga terhindar dari kemungkinan terkena stunting.

Dengan tubuh yang bugar dan sehat melalui aktivitas fisik yang baik dan didukung asupan gizi yang cukup, maka dimungkinkan upaya pencegahan stunting semakin paripurna.

Penulis, Dosen Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Ganesha

BAGIKAN