Sejumlah pedagang di pasar tradisional duduk menunggu pembeli. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok membuat biaya hidup di Bali akan makin mahal. Sehingga, meski ekonomi Bali bertumbuh positif, dengan daya beli masyarakat yang turun, pertumbuhan menjadi tidak berkualitas. Demikian disampaikan Ekonom Unud Prof. Wayan Ramantha, Senin (4/4).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Maret 2022, komoditas penyumbang inflasi adalah minyak goreng, angkutan udara, cabai rawit, cabai merah, emas perhiasan, bawang merah, tongkol diawetkan, telur ayam ras, buku tulis bergaris, dan canang sari. Per 1 April BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamax Turbo mengalami peningkatan harga.

“Kenaikan harga BBM maupun bahan pangan pasti menyebabkan inflasi karena inflasi itu adalah kenaikan harga-harga khusususnya bahan–bahan pokok secara terus menerus dalam waktu tertentu. Kenaikan harga itu terutama disebabkan karena faktor–faktor psikologis dari kenaikan harga BBM yang kemudian diikuti oleh kebutuhan pokok tertentu yang sudah barang tentu harganya juga dipengaruhi oleh harga BBM,” jelas Ramantha.

Kenaikan harga itu terjadi secara psikologis, menganggap bahwa ekonomi sudah semakin membaik sehingga pada akhirnya produsen barang–barang kebutuhan pokok berani menaikkan harga karena asumsinya adalah perekonomian mengalami peningkatan. Kenaikan harga BBM juga disebabkan APBN yang memberikan subsidi untuk bahan bakar minyak semakin sulit mengimbangi antara subsidi dan hutang negara yang semakin besar.

Baca juga:  Diperlukan, Kepemimpinan Berjiwa Hindu dalam Pengelolaan LPD

“Di satu sisi APBN semakin sulit, di lain sisi harga minyak dunia mengalami peningkatan sehingga seharusnya subsidi semakin tinggi kalau ingin harga itu tetap. Tapi karena kemampuan APBN terbatas, harga minyak mentah yang tinggi akhirnya subsidi dari pemerintah tetap namun  sebagian kenaikannya dibebankan kepada konsumen, jadi naiklah harga BBM,” jelasnya.

Efek kenaikan harga BBM ini akan memberikan snowball effect, seperti bahan pangan, listrik juga mengalami kenaikan. Dampaknya terhadap ekonomi akan mengalami penurunan pertumbuhan dibandingkan dengan periode sebelumnya seiring dengan melandainya COVID-19 secara signifikan.

Masyarakat mulai bisa beraktivitas tapi sebetulnya pertumbuhan itu menjadi tidak berkualitas karena ekonomi masyarakat mulai bergerak tumbuh tapi inflasi juga bergerak. Secara netto, daya beli masyarakat tidak akan mengalami peningkatan, karena peningkatan penghasilan dari yang sebelumnya minus, mulai meningkat.

“Namun kenaikan pendapatan disertai dengan kenaikan harga kan akhirnya tidak berkualitas, pertumbuhan ekonomi secara makro. Khususnya di Bali yang tergantung pada pariwisata, pariwisata mulai bergeliat dan orang mulai bisa bekerja tapi hasil pekerjaannya yang meningkat itu diiringi dengan peningkatan harga bahan pokok, hasilnya menjadi tidak berkualitas,” ujarnya.

Kemampuan beli masyarakat ini juga diperparah dengan kenaikan PPN 11%. “Karena kenaikan PPN itu masuk ke kas negara, karena kas negara kesulitan dana. Jadi, bagi masyarakat tidak terlalu berarti pertumbuhan ekonomi itu, tidak menyejahterakan karena kenaikan pendapatan yang diperoleh semuanya untuk biaya kebutuhan pokok dan biaya dalam bentuk kewajiban perpajakan,” ungkapnya.

Baca juga:  Disperindag Siapkan Dua Tempat Relokasi Pedagang Pasar Singamandawa

Secara riil, dengan kenaikan barang-barang kebutuhan pokok dan kenaikan pajak ini berkorelasi dengan angka kemiskinan. Namun angka kemiskinan tidak mengalami peningkatan, tetapi tidak juga mengalami penurunan, atau stagnan. “Yang miskin akan bertambah miskin pada level tertentu. Dengan pemulihan ekonomi saat ini dan peningkatan pendapatan seharusnya angka kemiskinan menurun, namun dengan kebijakan ini akan menyebabkan kemiskinan stagnan,” jelasnya.

Sementara Pemda tidak bisa berbuat banyak, melakukan intervensi kenaikan harga barang ini. Yang bisa dilakukan adalah memastikan TPID berjalan sesuai fungsinya. Terutama dalam penyediaan stok bahan makanan sehingga kenaikanan harga dapat ditekan. Apalagi hari besar keagamaan kerap menyebabkan kenaikan permintaan hingga kenaikan harga.

 

Kenaikan tarif PPN menjadi 11% per 1 April 2022 dikatakan sebagai reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal sebagai fondasi sistem perpajakan yang lebih adil, optimal, dan berkelanjutan. Namun ada sejumlah jenis barang dan jasa tertentu tetap diberikan fasilitas bebas PPN antara lain barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah–buahan, sayur–sayuran dan gula konsumsi), jasa kesehatan, jasa pendidikanm jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja.

Baca juga:  Gong Kebyar Dewasa di Festival Seni Budaya, Riuh Teriakan Penonton Memberikan Semangat

Barang dan jasa lain yang bebas PPN adalah vaksin, buku pelajaran dan kitab suci, air bersih termasuk biaya sambung atau biaya pasang dan biaya beban tetap listrik kecuali untuk rumah tangga dengan daya di atas 6.600 VA, rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS, jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasionalm mesin. Juga hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangan dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak, minyak bumi, gas bumi dan panas bumi, emas batangan dan emas granula, senjata/alutsista dan alat foto udara.

Menurut Ramantha, kenaikan PPN ini akan berdampak juga pada UMKM karena bahan baku naik. Setiap produk- produk yang wajib PPN juga diperlukan oleh UMKM, maka  ongkos dari UMKM mengalami peningkatan. Jika ongkos UMKM mengalami peningkatan, harga jual juga harus tingkatkan, namun dampaknya pada daya saing produk UMKM tersebut. Apalagi di tengah kemampuan pasar, daya beli masyarakat belum terlalu baik menyebabkan mereka tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN