Seorang petani menyemprot tanaman padinya di Subak Sempidi, Badung. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali sedang tidak baik-baik saja dalam soal ketahanan pangan. Semakin menyusutnya lahan pertanian dan produktivitas petani yang rendah membuat ketahanan pangan Bali mengkhawatirkan. Padahal dengan kondisi dunia akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina membuat masing-masing daerah wajib memiliki ketahanan pangan yang kuat karena rantai pasok pangan dunia sedang mengalami gangguan hebat.

Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Unud Prof. I Wayan Windia, masing-masing negara kini sedang berusaha mengamankan stok pangannya. “FAO sudah khawatir tentang keadaan pangan dunia, karena harganya mulai cenderung meningkat. Implikasinya, negara-negara di dunia berusaha menyetop menawarkan komoditasnya ke pasar dunia. Mereka mengambil sikap aman. Yakni ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apalagi sedang ada perang. Pangan adalah komoditas primer. Kalau tidak ada pangan di dalam negeri, dan harganya terus menanjak, maka pemerintahan bisa runtuh,” kata Windia.

Bali juga seharusnya melakukan upaya menjaga ketahanan pangannya secara mandiri. Ketergantungan terhadap impor ataupun pasokan dari daerah lain akan sangat membahayakan. Ironisnya, lanjut Windia, kondisi ketahanan pangan Bali kini sangat mengkawatirkan karena luas lahan pertanian yang dibiarkan terus menyusut. Sementara perhatian terhadap sektor pertanian dari pemerintah, hanya pemanis bibir.

“Sawah-sawah di Bali terus diterjang proyek. Pembangunan untuk menunjang pariwisata menjadi kanibal bagi sawah dan subak di Bali. Sangat bertentangan dengan pidato-pidato pejabat di Bali, yang katanya akan “memuliakan” budaya, alam, dan manusia Bali,” ujar Windia.

Baca juga:  Jangan Tinggalkan Sektor Pertanian

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gede Ustriyana, M.M., mengatakan ketersediaan beras di Bali memang sudah mulai mengkhawatirkan. “Artinya jika diasumsikan ketersediaan itu adalah persediaan dikurangi konsumsi, itu hasilnya minus,” kata Ustriyana, Rabu (6/4).

Penyebabnya, selain alih fungsi lahan, juga produktivitas petani yang masih rendah. Jika ingin ketahanan pangan Bali kuat, mencegah alih fungsi lahan dan penggunaan teknologi pertanian harus segera dilakukan. “Teknologi harusnya sudah mulai menggunakan yang baru. Karena kalau tetap seperti apa yang dilakukan sekarang, maka produktivitas tidak akan naik. Sedangkan yang diinginkan luas are tetap, tapi produktivitas harus  meningkat,” tegasnya.

Ketersediaan pangan secara mandiri hanya bisa dipenuhi oleh sebuah wilayah jika lahan pertaniannya memadai. Berdasarkan data yang ada, lahan pertanian di Bali tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Windia meyodorkan data dari Bappenas. “Kolega saya di Bappenas, memberikan data bahwa sebetulnya sejak tahun 2019 keadaan lahan sawah di Bali sudah minus dibandingkan dengan kepentingan untuk pangan. Disebutkan bahwa pada tahun 2019 lahan sawah di Bali 70.996 ha, padahal kebutuhan lahan untuk pangan adalah 81.195 ha. Pada tahun 2025 diperlukan 87.639 ha; tahun 2030 diperlukan 93.541 ha, dan tahun 2035 diperlukan 99.981 ha. Padahal faktanya, lahan sawah di Bali terus menurun drastis. Kalau ada yang menyatakan bahwa Bali surplus beras 100.000 ton, maka ada pertanyaan mendasar. Itu adalah fakta atau hanya data di atas kertas,” kata Windia.

Baca juga:  Nataru, BPOM Temukan 1975 Produk Pangan Kedaluwarsa

Berharap dari Megawati

Kondisinya saat ini, lanjut Windia, ketahanan pangan Provinsi Bali terancam sangat serius. Lampu merah bagi ketahanan pangan Bali. “Mungkin hanya Megawati yang bisa memberi peringatan terhadap fakta dari kebijakan pembangunan Bali. Karena ia sering meminta kepada kader-kadernya, untuk mempertahankan ketahanan/kedaulatan pangan,” ujar Windia.

Pertanian yang makin terpuruk, menurut Windia karena negara belum memihak kepada petani produsen. Selama ini, petani dikorbankan, konsumennya yakni yang membeli padi selalu dilindungi dengan penetapan harga. “Kalau saja petani Indonesia diikhlaskan menerima harga yang menguntungkan, dan negara (berani) memihak petani, maka Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia (Asia Tenggara). Petani akan senang bertani. Mereka tidak akan menjual sawahnya. Mereka akan menjadi dasar ekonomi berkelanjutan, berbasis agribisnis,” jelas Windia.

Baca juga:  China Hapus Aturan Masker di Sekolah

Berbicara soal ketersediaan pangan terutama beras di Bali, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gede Ustriyana, M.M., mengatakan selama ini pasokan selalu dipenuhi dari luar Bali. Selama ini permintaan beras selalu terpenuhi.

“Tapi, khusus di Bali, antar pulau untuk beras masih lancar. Karena Bali menjadi daerah istimewa sebagai central pariwisata. Karena apapun yang terjadi di Bali, tentu akan menyebar ke Seluruh dunia,” ujarnya, Kamis (7/4).

Kalau khusus pangan, di Bali memang ada keinginan untuk menjadikan pertanian sebagai leading sektor, sementara pariwisata sebagai bonus. Tentu untuk itu, perlu strategi baru, Apalagi gubernur Bali telah memberikan kebijakan kebijakan untuk menjadikan pertanian sebagai leading sektor pertanian Bali. Namun pihaknya melihat, dengan pariwisata mulai menggeliat, sektor pertanian mulai kembali ditinggalkan.

Sementara, untuk lahan pertanian, Sebetulnya sudah ada penetapan luas lahan baku pertanian di Bali, ada jalur hijau dan seterusnya. namun bagaimana penerapan law enforcement-nya, penegakannya itu yang penting diterapkan. Alih fungsi laga juga kata dia sudah ada awig-awignya. Namun begitu masuk investor, itu bisa beralih. (Winatha/Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN