Oleh Agung Kresna
Pernakah kita mencoba menghitung jumlah tiang sarana instalasi jaringan kabel yang ada di simpang empat traffic light jalan Gunung Agung dengan Buluh Indah Denpasar? Ternyata di simpang empat tersebut tertancap lebih dari 40 tiang di keempat sudut jalannya.
Tentu jumlah yang tidak sedikit untuk satu titik simpang jalan. Penempatan aneka tiang sarana instalasi jaringan listrik, telepon, televisi kabel, maupun tiang penyangga sarana promosipun memang bisa dikatakan sering mengabaikan unsur estetika visual lingkungan. Aneka macam tiang tersebut acapkali tertancap secara berjubel pada lokasi strategis, utamanya pada tepian persimpangan jalan.
Kondisi “sampah visual” tersebut masih ditambah dengan malang melintang kabel jaringannya yang sering saling tumpang-tindih. Perkembangan teknologi memang menuntut adanya jaringan infrastruktur pendukungnya. Namun tentu ada cara yang lebih bijak, sehingga infrastruktur tersebut tidak merusak estetika wajah kota. Jaringan kabel data sering dipasang melintang jalan dengan ketinggian yang rendah, di sekitar tiga meter dari permukaan tanah. Bentangan kabel ini sering menghambat kegiatan gelaran upacara adat krama Bali; seperti saat ngaben, palebon, ataupun mamukur. Akibatnya pemasangan kabel data sering hambat kegiatan adat (Bali Post, 25/3/2022).
Seringkali bade dengan ketinggian sekitar 4-5 meter kesulitan saat melintas, padahal bade sudah menempel di tanah. Terlebih lagi jika ada krama yang mengarak wadah dengan kereta roda. Kondisi kesemrawutan ini tentu tidak boleh dipertentangkan, namun justru harus dicarikan jalan solusinya.
Jaringan komunikasi memang menjadi fasilitas kota bagi segenap warganya, guna menjalani keseharian kehidupannya seiring dengan kemajuan teknologi yang ada. Namun tentu saja kehadirannya tidak boleh mengabaikan estetika kota, ataupun menghambat aktivitas warga utamanya yang terkait dengan kegiatan adat krama Bali.
Estetika kota juga sering terganggu oleh kehadiran media komunikasi visual di ruang publik yang justru sering menimbulkan terjadinya sampah visual. Hal ini akibat seringnya media komunikasi tersebut dipasang secara serampangan, tanpa mengindahkan estetika serta mengabaikan peraturan yang ada. Tidak jarang poster atau pamphlet dipasang dengan cara dipaku pada pohon, atau ditempel/dilem pada public facility seperti tiang listrik/telepon dan boks pembagi jaringan telepon. Demikian juga baliho yang sudah habis masa izinnya serta sudah tidak layak visual, namun tidak segera diturunkan oleh pemilik baliho.
Penataan papan nama toko, pusat perdagangan, kantor, serta fasilitas publik lainnya sebagai sarana komunikasi visual, juga harus dikelola guna memperoleh wajah estetika arsitektur suatu kawasan/kota; sehingga tidak memunculkan kesemrawutan visual. Jika kondisi ini terjadi, maka bagai menciptakan sampah visual bagi ruang publik suatu kota/kawasan. Harus ada paradigma baru dalam menata infrastruktur fasilitas kota, agar tercipta estetika kota serta tidak mengganggu berbagai kegiatan adat segenap warga kotanya. Tidak cukup dengan pemenuhan kepentingan teknis jaringan infrastruktur semata. Namun harus berpanduan pada local wisdom krama Bali sebagai social capital dalam balutan living culture heritage.
Kita harus belajar dari masa lalu guna melanjutkan langkah menapaki koridor masa depan. Jejak sejarah yang ada di perkotaan maupun perdesaan Bali merupakan potensi yang harus tetap kita lestarikan melalui tindakan konservasi fisik maupun sosial yang bersifat komprehensif. Sebagai upaya peningkatkan partisipasi masyarakat sekaligus menciptakan estetika kota yang sesuai kegiatan adat krama Bali.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar