Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di era transformasi digital saat ini kesetaraan perempuan dan laki–laki sudah terjadi meskipun tidak merata. Justru di era ini masih terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Di era ini juga perempuan terjerat narkoba baik sebagai pemakai dan pengedar.

Berdasarkan data dari Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), di Indonesia sepanjang 2021 terdapat 8.478 kekerasan terhadap perempuan, 1.272 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Jenis-jenis kekerasan yaitu kekerasan fisik, mental, verbal, ekonomi, sosial, kekerasan seks berbasis gender online.

Sementara data di Polda Bali menunjukkan tahun 2020 terjadi 759 kasus narkoba, pelaku dari kalangan perempuan yang ditangkap 60 orang atau 52 persen dari WNI. Tahun 2021 dari 691 kasus narkoba, 38 orang menyeret kaum perempuan. Dari jumklah itu 97 persen adalah WNI.

Anggota DPRD Badung Inda Trimafo Yudha, Rabu (20/4) mengatakan, masih adanya kejahatan atau kekerasan terhadap perempuan karena faktor lingkungan termasuk pola asuh terhadap cara menghargai wanita. Juga akibat adanya kesempatan, latar belakang pendidikan, mengimplementasikan interpretasi dan persepsi yang salah tentang wanita dan tidak ada hukum yang memberikan efek jera pada pelaku.

Baca juga:  Hari Kartini, Jadikan Lambang Perjuangan Perempuan

“Wanita memiliki kodrat melahirkan, menyusui dan mens dan ini membuat wanita itu dianggap rapuh. Ini yang menyebabkan wanita menjadi objek pelampiasan kemarahan dan ketidaksesuaian antara harapan dan realita,” imbuhnya.

Di tengah masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, maka dari itu perlu di-back up dari sisi keamanan dan hukum serta juga dari sendiri. Wanita juga harus bisa menjaga dirinya dan memperjuangkan hidupnya.

Peringatan Hari Kartini kali ini menjadi momen bagi wanita untuk memperjuangkan lagi hak–haknya dengan memperkuat dirinya secara mental, psikis, wawasan, pengetahuan untuk mendapatkan hak–hak yang sama dengan laki–laki. Selain itu, guna menghindari wanita dari pembodohan, kekerasan fisik, psikis, verbal dan kekerasan seksual. Wanita harus bangkit demi dirinya sendiri dan anak–anaknya. Hari Kartini baginya bukan saja momentum untuk refleksi diri sebagai kaum perempuan, tapi juga mengingatkan wanita untuk terus meningkatkan diri.

Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RSUP Sanglah yang juga aktif di Yayasan Lentera Anak Bali (LAB) Dr. dr. A.A. Sri Wahyuni, Sp.KJ. mengatakan, kekerasan terutama dalam rumah tangga tidak akan pernah berakhir walau posisi perempuan sudah sejajar dengan laki-laki. Kekerasan itu terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam membangun komunikasi yang sehat, seimbang dan saling menghargai. Komunikasi yang sehat dengan saling menghargai akan dapat mengurangi KDRT. “Kenapa perempuan selalu dikatakan menjadi korban KDRT, mungkin masih ada bias gender, bahwa perempuan lemah perlu dilindungi. Laki-laki dianggap kuat sehingga tidak boleh mengeluh atau melaporkan diri bahwa mereka korban KDRT. Lingkaran kekerasan hanya dapat dikurangi tidak akan pernah terhapuskan. Apalagi kepadatan penduduk semakin meningkat,” tukasnya.

Baca juga:  Peran Strategis Perangi Narkoba

Di tengah perkembangan teknologi, wanita pun tidak luput dari paparan teknologi ini, maka dari itu wanita perlu memperkuat ketahanan mentalnya dengan menyeimbangakan logika dan perasaan. Sehingga selalu menilai informasi secara seimbang. Jika ini tidak dikelola dengan baik maka menurutnya akan menurun ke masalah lainnya seperti berdampak pada keluarga, terutama kesehatan mental anak-anaknya.

Di era transformasi teknologi ini, menurutnya, ada peluang dan tantangan. Peluangnya, wanita dapat dipermudah dalam menjalankan berbagai perannya baik dalam keluarga, pekerjaan maupun lingkungan sosial. Namun di balik itu juga ada tantangan agar wanita tidak menjadi kebablasan memanfaatkan teknologi, terutama dalam mengontrol anak–anaknya.

Baca juga:  Jelang Tahun Baru, PLN Pastikan Kelistrikan Aman

Perempuan, mau tidak mau harus mampu menghadapi setiap perubahan dalam kehidupannya. Menurutnya, setiap orang sudah memiliki mekanisme koping dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya. Namun ada yang kuat dan ada lemah. Jika perempuan memahami kelemahan diri, serta dapat memahami bahwa setiap hari harus berhadapan dengan stres dalam proses kehidupan, selayaknya wanita semakin memperkuat mekanisme koping. Namun 1% dari populasi memiliki kelemahan dalam membentuk ketahanan mental dalam dirinya, sehingga mengalami gangguan mental.

Direktur Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Prof. Dra. Relin, DE, M.Ag. mengatakan, saat ini semakin marak kaum perempuan menjadi korban kekerasan mulai dari masa pandemi ke arah situasi normal. Hak dasar wanita adalah mendapatkan pendidikan yang layak. Perlindungan dalam menempuh pendidikan merupakan bagian penting yang harus dipenuhi. Dengan terpenuhinya keamanan dan perlindungan bagi kaum perempuan khususnya menghindari kekerasan seksual, maka akan dapat menjamin kualitas SDM yang dihasilkan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN