I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh  I Wayan Sukarsa

Pertanian mempunyai peranan strategis dalam penyediaan kebutuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia paling utama dan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang jumlahnya terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perubahan pola dan gaya hidup masyarakat, negara wajib mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan yang cukup, aman, bermutu, bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah maupun perseorangan secara berdaulat dan mandiri.

Sebagai sektor yang bertanggung jawab menjaga ketersediaan pangan dihadapkan berbagai permasalahan ekternal masih terjadinya laih fungsi lahan, lemahnya perlindungan petani serta kurangnya dukungan anggaran dari pemerintah. Secara Internal berupa permodalan, kepemilikan lahan yang sempit, penguasaan teknologi pertanian modern, persoalan pupuk dan kepastian pemasaran dan jumlah petani terus menurun yang didominasi generasi tua. Geertz (1983) menggambarkan ekologi pertanian tradisional merupakan kombinasi dari pengendalian air, lahan dan manusia.

Baca juga:  Disrupsi Digital Pertanian di Era Globalisasi

Menurunnya luas lahan dan jumlah petani sebagai dampak, berkembangnya sektor industri dan lainnya serta masih melekatnya paradigma bahwa pertanian pekerjaan kotor dan penuh resiko, membuat kurangnya minat generasi muda (generasi mellenial) berprofesi sebagai petani. Hal ini dibuktikan dalam 30 tahun terakhir, kelompok usia petani di bawah 35 tahun menurun dari 25% menjadi 13%, petani yang berusia di atas 55 tahun meningkat dari 18% menjadi 33% (BPS tahun 2017). UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah telah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan dan penyeimbangan kegiatan pembangunan, pada sisi lain pertanian merupakan sektor pilihan  dari sisi urusan pemerintahan (PP 38/2007).

Hal ini terlihat dari alokasi dana APBD yang relatif kecil sehingga sulit menggerakkan pertanian secara cepat. Suhaeti et al. (2010) menyebutkan bahwa proporsi kontribusi anggaran pemerintah untuk pertanian tidak mencapai 5 persen, sisanya adalah dari komunitas pertanian (15-25%), pelaku usaha (40-50%) dan lembaga keuangan privat (10-15%).

Baca juga:  Resmikan Pabrik Pupuk, Jokowi Dorong Kemandirian Pangan

Keberlanjutan pertanian, keberadaan dan pengetahuan petani, lahan serta pendanaan sangat penting dalam mendukung peningkatan produksi. Ketersediaan pangan ditentukan oleh komponen produksi, import/ekport, konsumsi dan jumlah penduduk (Lisa Lestari dkk, 2012). Sebagai penyedia pangan sektor pertanian dihadapkan berbagai keterbatasan utamanya jumlah petani. Keterbatasan tersebut dalam jangka pendek dapat ditanggulangi melalui program pendampingan secara berkelanjutan, melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada petani baik berusia 35 tahun ke bawah maupun generasi tua berusia 55 tahun ke atas agar dapat menerapkan pertanian modern.

Baca juga:  Ancaman PHK, Resesi dan Inflasi Melanda Bali

Pengembangan pertanian modern kedepan Pemerintah harus melakukan redesain dari sistem penganggaran dan pola pembangunan pertanian  secara komperehensif berorientasi kepada Industri dari hulu sampai hilir dengan melindungi lahan pertanian,  perlindungan dan  pemberdayaan petani dalam melakukan usaha tani dari kegagalan panen dan risiko harga, menyediakan prasarana dan sarana Usaha Tani, menumbuh kembangkan kelembagaan pembiayaan Usaha Tani, meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta Kelembagaan petani  yang produktif, maju, modern, bernilai tambah, berdaya saing, dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi guna meningkatkan efisiensi, efektivitas proses,  rekayasa genetik, digitalisasi informasi sehingga generasi muda (generasi mellenial)  tertarik dan bangga berprofesi sebagai petani serta menjadi agen transformasi pertanian  ke era digitalisasi dan merubah paradigma pertanian yang kotor tanpa kepastian.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Litbang Kabupaten Badung

BAGIKAN