Oleh Made Agus Sugianto
Hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memberikan paradigma baru bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Manajemen ASN saat ini sudah dikelola dengan baik melalui Open Career System. Karir ASN terlindungi baik pada saat pengangkatan, promosi, mutasi maupun pemberhentian. Mutu manajemen ASN diukur dan dioptimalisasikan dengan baik menggunakan Sistem Merit.
Sebelum diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 2014, seringkali terjadi transaksi jual beli jabatan pada instansi pemerintah sehingga mempengaruhi kualitas pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Setelah terbitnya UU di atas, proses pemilihan JPT berbasis kualifikasi, kompetensi, dan kinerja (merit system), serta pengisian jabatan diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sehingga jual beli jabatan semakin sulit dilakukan.
Stephen J. McNamee (2014) mengatakan bahwa meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan terhadap kepantasan atau kelayakan seseorang dalam menduduki posisi atau jabatan tertentu. Meritrokrasi menghargai prestasi, memberi kesempatan pada semua individu yang berpotensi (memenuhi syarat dan layak) mendapatkan untuk mencapai kesuksesan. Selanjutnya Mosher (1982) berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya berdasar pada prestasi (merit), bukan mengandalkan keturunan (aristokrasi) dan kekayaan (plutokrasi), meskipun hal ini sulit untuk dilakukan.
Rekrutmen dalam kondisi demokrasi (politik) di Indonesia membawa pengaruh pada pengabaian meritrokrasi. Janji-janji politik memenuhi tuntutan masyarakat membawa dampak ”melupakan’” meritrokrasi. Pejabat “politik” akan memilih calon Pejabat Pimpinan Tinggi dengan alasan “chemistry” atau melakukan penggantian/mutasi pejabat dengan alasan “tour of duty”. Sementara peran KASN sebagai pengawas, hanya dapat memberikan rekomendasi.
Ada dua pendapat terkait netralitas ASN dalam Pilkada. Kelompok pertama menganut pandangan teoritis idealisme bahwa birokrasi harus netral dari intervensi politik. Birokrasi harus bertindak profesional dan melayani rakyat negara secara setara tanpa motif politik dan dikotomi serta harus didukung sebagai standar profesional dalam politik-birokrasi/pengelola pemerintahan. Sementara kelompok berpandangan realistis menyatakan bahwa birokrat harus memainkan dan berperan aktif dalam proses kebijakan. Birokrasi tidak mungkin dapat menghindari politik, selalu menjadi bagian dari perannya. Hasil Electoral process and pluralism (2019), menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia menduduki peringkat 64 dari 167 negara di dunia, dengan skor terendah ada pada civil liberties (5,59) dan political culture (5,63).
Makna Netralitas memiliki arti objektif, bebas dari intervensi/pengaruh, tidak ada konflik kepentingan dan imparsial. UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pada bagian Penjelasan Pasal 2 huruf ‘f’ menyatakan bahwa ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. ASN aktif (bisa memilih), tetapi tidak bisa dipilih. Namun demikian, laporan Bawaslu pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 3 pelanggaran terbanyak yang dilakukan ASN pada saat Pilkada yaitu; memberikan dukungan melalui ragam media (403), menghadiri acara dengan Paslon/Parpol (133), dan mendekati/mendaftarkan diri pada Parpol (103).
Menteri PANRB (2020) menyatakan bahwa ASN tidak bisa dan/atau tidak mau netral karena beberapa alasan, antara lain; motif untuk mempertahankan jabatan atau proyek, adanya hubungan kekerabatan dengan calon peserta pemilu, kurangnya edukasi terkait aturan dan regulasi, takut melanggar “perintah”, tekanan structural, lemahnya pemberian sanksi kepada ASN dan pihak lain yang melanggar serta permisif. Banyak tantangan yang dihadapi KASN dalam menegakkan peraturan, tantangan tersebut antara lain; Peningkatan mutu penerapan sistem merit dalam manajemen ASN, kepatuhan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam menindaklanjuti rekomendasi KASN dan penanganan pelanggaran asas netralitas dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Upaya yang harus dilakukan agar ASN bersikap netral saat Pilkada adalah dengan membuat job desc yang jelas bagi ASN, sehingga ASN kompeten tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi calon Kepala Daerah (petahana). Selain itu, perlu dibangun pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat, ASN, NGO, pemerintah, akademisi serta meminimalisir kesempatan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, upaya pengawasan tidak hanya top –down, karena cakupan netralitas beragam, serta perlu adanya integrasi penanganan pelanggaran, bukan hanya kepada ASN, tapi kepada pihak lain yang terkait. Dan yang tidak kalah penting adalah membuat mitigasi risiko untuk melindungi ASN yang dipaksa oleh atasannya untuk tidak netral.
Penulis Analis Kebijakan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung.