DENPASAR, BALIPOST.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan I 2022 positif 1,46% secara tahunan. Sedangkan secara triwulanan, pertumbuhan ekonomi Bali masih minus (-4,97%).
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Udayana, Wayan Ramantha, dengan data itu, Bali masih bergantung pada pertumbuhan musiman yang hanya dinikmati sekelompok masyarakat. Sehingga pertumbuhan ekonomi Bali menjadi tidak berkualitas alias semu.
Ia belum melihat pertumbuhan ekonomi ini sebagai prospek bisnis. Sehingga investasi atau reinvestasi belum berani dilakukan oleh para pengusaha. Sementara agar perekonomian bisa tumbuh diperlukan investasi yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka tertentu.
“Sementara pertumbuhan ekonomi sekarang ini merupakan kondisi jangka pendek, belum seperti yang diharapkan, karena untuk bisa tumbuh 5% -6% masih perlu beberapa langkah, salah satunya kebijakan fiskal,” ujarnya Rabu (11/5).
Perekonomian dipengaruhi oleh pertumbuhan dunia usaha, produktivitas dunia usaha, pertumbuhan konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan konsumsi pemerintah. Sementara yang terjadi saat ini, kata dia, dunia usaha di Bali belum mampu berinvestasi atau reinvestasi untuk bisa beroperasi kembali.
Di Bali dunia usaha masih kebanyakan di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Selama dua tahun pandemi, mereka terpukul dan kehabisan modal sehingga tidak bisa reinvestasi. “Seperti hotel, mereka perlu modal kerja untuk perbaikan hotel, merekrut tenaga kerja. Jadi mereka perlu investasi. Perbankan masih prudent, belum berani menyalurkan kredit karena mereka belum melihat prospek yang pasti mengenai tingkat pengembalian di kemudian hari. Mereka juga diatur regulator sehingga perlu kebijakan khusus untuk bisa tumbuh kembali,” bebernya.
Jika ingin pertumbuhan ekonomi berkualitas indikatornya dapat dilihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga, gini ratio dan sekaligus kemiskinan dan pengangguran. Sementara pengangguran di Bali masih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi yaitu 4,84 persen. “Ketika pertumbuhan itu disertai pemerataan ekonomi, bisa mempersempit gini ratio, maka pertumbuhan ekonomi bisa disebut berkualitas,” ujarnya.
Mengingat saat pandemi yang paling terpukul adalah golongan masyarakat ekonomi rendah karena penghasilan hanya untuk konsumsi, maka saat pandemi yang terjadi, mereka kehilangan penghasilan dan tidak bisa berkonsumsi. “Jika menginginkan ekonomi berkualitas golongan masyarakat ini yang paling utama dibantu dengan kebijakan dan bantuan-bantuan. Dengan pertumbuhan berkualitas ketika sekaligus bisa mengatasi sekaligus mengurangi penduduk miskin, masyarakat berpenghasilan menengah menjadi tambah banyak, dan jurang antara kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi tidak terlalu tinggi,” ujarnya.
Akademisi dari Undiknas Prof. I.B. Raka Suardana mengatakan, pertumbuhan ekonomi Bali bersifat musiman karena sangat bergantung dari pariwisata yang bergantung dari musim-musim liburan. “Dari pertumbuhan ini, kita bisa mengukur semu tidaknya dari seberapa banyak masyarakat yang menikmati pertumbuhan ini atau hanya dinikmati segelintir orang,” ujarnya.
Sebelum pandemi, memang dampak dari pariwisata multiplier, berdampak langsung dan tidak langsung, baik bagi masyarakat dengan berbagai golongan maupun pemerintah. Sekarang pertumbuhan ini belum banyak yang menikmati, karena pertumbuhan pariwisata belum besar dan merata.
Apalagi musim liburan, yang membuat kunjungan ke Bali kembang kempis. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Bali sangat fluktuatif. (Citta Maya/balipost)