Sejumlah warga yang kawasan permukimannya dikunci di Panjiayuan, Distrik Chaoyang, Kota Beijing, China, antre membeli sayur dengan pengawasan ketat aparat. (BP/Ant)

BEIJING, BALIPOST.com – Jika tidak menerapkan kebijakan pengendalian dan pencegahan pandemi secara ketat, merebaknya wabah COVID-19 di China berisiko membunuh 1,5 juta jiwa warga. Demikian Kementerian Luar Negeri setempat (MFA) mengutip pendapat para pakar kesehatan, sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (12/5).

“Besarnya populasi China juga berarti tindakan pencegahan dan pengendalian yang kendor akan menyebabkan kematian sejumlah besar kalangan orang tua,” kata juru bicara MFA Zhao Lijian di Beijing, Rabu (11/5).

Baca juga:  Kasus Baru Hampir 200 Orang! Kumulatif Warga Terpapar COVID-19 di Bali Lampaui 49 Ribu Orang

Menurut dia, kebijakan nol COVID-19 secara dinamis sangat efektif melindungi kaum lansia dan kelompok berisiko yang memiliki penyakit bawaan. “Ini sangat berbeda dengan kebijakan longgar yang mengarah pada kekebalan imunitas dan kekebalan alami yang diambil oleh beberapa negara lain,” ucapnya.

Ia menyatakan bahwa kebijakan nol COVID-19 secara dinamis bukan berarti mengarah pada nol kasus, melainkan pengendalian pandemi dengan biaya sosial rendah dalam waktu sesingkat mungkin sehingga secara efektif melindungi kesehatan masyarakat dan aktivitas 1,4 miliar warga China tidak terpengaruh.

Baca juga:  PM Australia Tanggapi Keinginan Putin Hadiri KTT G20 di Bali

Sejak mewabah pada akhir 2019 sampai saat ini di China tercatat 1,12 juta kasus positif dan 5.198 kasus kematian. Sejak Januari 2022 China kembali dilanda peningkatan kasus, terutama di Shanghai dan saat ini di Beijing.

Shanghai telah diberlakukan penguncian wilayah (lockdown) sejak pertengahan Maret lalu. Meskipun kasus sudah menurun, belum ada tanda-tanda lockdown dicabut di kota terkaya dan pusat keuangan China itu.

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 Dilaporkan Nasional Tambah Hampir 60 Orang

Di Beijing sejak akhir April telah diterapkan lockdown secara parsial, terutama di kawasan bisnis terpadu (SCBD) Distrik Chaoyang.

Warga China yang terdampak kebijakan itu sudah mulai tidak tahan dan mempersoalkannya, apalagi tes PCR yang sebagai prasyarat untuk memasuki fasilitas publik di zona yang tidak termasuk berisiko tinggi terus diwajibkan tanpa ada kejelasan sampai kapan akan berakhir. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN