MANGUPURA, BALIPOST.com – Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Demam Berdarah, selama 2022, ternyata masih cukup tinggi. Dari data yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, selama 4 bulan terakhir tahun 2022, total ada sebanyak 1.610 kasus di Bali.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. I Nyoman Gede Anom, dari ribuan kasus tersebut, pada bulan Januari merupakan yang tertinggi, dengan total 562 kasus dan kematian sebanyak 5 orang. Sedangkan bulan Februari sebanyak 317 kasus dan nihil kematian.
Pada bulan Maret, jumlah kasus sebanyak 352 dan kematian 2 orang. Untuk bulan April, total kasus sebanyak 380 dengan kematian 1 orang. “Untuk DBD di Bali masih cukup tinggi, dan bulan Januari paling banyak,” katanya, Senin (16/5).
Menurut Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr. I Made Deddy Sugandhi S., Sp.PD, demam berdarah, ini ditularkan oleh nyamuk. DBD ini menurutnya, bisa menyebabkan satu shock yang mengakibatkan demam tinggi. Shock dan pendarahan ini, menyebabkan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat mortalitas (kematian) yang cukup tinggi.
Pada DBD ini, terjadi perubahan trombosit yang signifikan, terutama saat demam itu sudah memasuki fase kritis pada hari ke 3 sampai hari ke 7. “Pasien cenderung mengalami penurunan tekanan darah, dehidrasi, kehilangan cairan banyak, dan trombosit rendah sehingga kondisi ini menjadikan risiko pendarahan yang spontan. Memang hal ini perlu mendapat perawatan di Rumah sakit. Ini dinamakan Shock Syndrome yang menyebabkan tingkat kematian tinggi,” kata dr Deddy.
Untuk perawatan pasien demam berdarah bisa dilakukan dengan supporting. Pada Pasien kondisi demam tinggi, biasanya terjadi penguapan cairan yang banyak yang mengakibatkan kondisi dehidrasi.
Tentu dengan ini harus banyak minum air atau pemberian cairan. Bila pasien tidak ada nafsu makan dan minum, serta muntah muntah, maka pasien harus menjalani rawat inap agar mendapat terapi infus yang optimal.
Dikatakan, dalam hal ini, pasien yang rentan jatuh pada shock syndrome, terutama pada anak usia di bawah 5 tahun, Lansia, Ibu hamil, pasien dengan penyakit kronis, serta obesitas. Bahkan, bagi mereka yang pernah terjangkit DBD, bisa saja terjadi reinfeksi.
Karena varian dari virus Degue ini, ada 4, yakni Dengue 1, Dengue 2, dengue 3, dengue 4. “Walaupun pernah terjangkit, karena berbeda jenis virusnya, tentu bisa saja terkena dan mengakibatkan shock syndrome,” bebernya.
Tak hanya DBD, namun Cikungunya, juga masih menghantui masyarakat. Namun demikian, untuk Chikungunya, biasanya pasien tidak sampai mengalami shock syndrome. Menurutnya, Demam Chikungunya ini, merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dari Chikungunya. Yang mana penularannya melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. hampir sama dengan DBD.
Pasien dengan infeksi akut ini, akan mengalami demam tinggi tiba-tiba pada hari pertama disertai nyeri sendi yang hebat. Pasien sering mengeluh nyeri sendi yang hebat sehingga tidak bisa bergerak dan berjalan.
Penyakit ini berbeda dengan DBD. Chikungunya itu tidak menyebabkan kondisi shock. Karena jenis virus yang menyebabkan juga berbeda. Komplikasi yang sering terjadi, selain demam tinggi, disertai juga kadang mual muntah, lemas dan ini akan berlangsung kurang lebih sekitar 2 sampai 7 hari.
Untuk Penanganannya selama ini tidak ada terapi anti-virus yang spesifik. Jadi terapi yang diberikan selama ini, biasanya supporting ya, intinya untuk mengurangi gejala, terutama demam, kemudian memberikan terapi cairan, yang apabila pasien memang sulit untuk makan minum.
Apalagi mual muntah hebat sehingga mengalami dehidrasi, tentu pasien diharapkan menjalani rawat inap. “Sebenarnya penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya, tergantung sistem kekebalan tubuh pasien masing-masing,” ucapnya.
Untuk langkah pencegahan yakni memutus transmisi penularan dengan cara mengatasi vektor penyebabnya, yakni nyamuknya. Karena Indonesia sebagai negara tropis, tentu nyamuk ini selalu muncul.
Untuk itu, langkah yang dilakukan hampir sama dengan upaya untuk DBD yakni, memberantas sarang nyamuk dengan upaya 3M. Karena nyamuk.ini sangat suka berada pada genangan air. “Dengan memberantas vektor penyebabnya, tentu diharapkan transmisi penularan juga bisa menurun. Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga kebersihan lingkungan,” ucapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)