NEGARA, BALIPOST.com – Meningkatnya kasus rabies di Jembrana, Komisi II dan Komisi III DPRD Jembrana menggelar Rapat Kerja Gabungan Komisi dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana, Selasa (17/5). Raker gabungan ini digelar atas petunjuk dari Ketua DPRD Jembrana Ni Made Sri Sutharmi dan khusus membahas penanganan rabies dan ketersediaan Vaksin VAR.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II, I Ketut Suastika dan Ketua Komisi III I Dewa Putu Mertayasa ini DPRD mempertanyakan penegakan Perda Provinsi Bali Nomor 15 tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies di Jembrana. Di antaranya petunjuk teknis penanganan rabies, seperti halnya penanganan awal ketika digigit dan teknis pemberian VAR. Dewan menegaskan Pentingnya sosialisasi betapa berbahayanya rabies ini.
“Pencegahan di awal dengan memberikan sosialisasi dan edukasi itu penting. Termasuk penegakan perda, kami di lembaga mencoba pola sosialisasi kepada masyarakat dengan melibatkan anggota DPRD di daerah pemilihan masing-masing, untuk pencegahan,” kata Suastika.
Ia mencontohkan di Pejeng, Gianyar melibatkan desa adat mengatur perkembangan hewan peliharaan. Sehingga secara masif bisa diantisipasi penyebaran dan diawasi termasuk Hewan Penular Rabies (HPR).
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana, Wayan Sutama, menyebutkan bahwa Kabupaten Jembrana saat ini masuk zona merah Rabies. Dari 51 desa dan kelurahan sudah ada 29 desa/kelurahan yang zona merah kasus rabies. “Untuk penanganan, di samping vaksinasi, kita lakukan eliminasi anjing-anjing dan liar dengan tetap berkoordinasi aparat desa, kita akan lakukan eliminasi yang penting seijin dari pemiliknya berani kita eliminasi,” kata dia.
Selanjutnya, bila ada gigitan anjing, dilakukan monitor dan diobservasi kemudian dilanjutkan mengambil sampel. Di Kabupaten Jembrana dari 5 Kecamatan, sudah tidak ada zona hijau rabies.
Menurutnya, masalah rabies ini sedang menjadi permasalahan yang mengancam ke depannya. Sebab pada 2020 lalu hanya 6 persen vaksin rabies yang terpakai dan saat ini 2022 menjadi 30 persen yang terpakai, bahkan terakhir mencapai 70 persen.
Diakui, masih banyak anjing-anjing yang belum tervaksinasi yang kemungkinan akan berdampak hasil positif. Setiap satu orang yang digigit, penanganannya harus disiapkan 4 vial VAR. “Tidak boleh kita kasih satu vial aja VAR ini, harus kita kasih 4 vial untuk 1 orang yang digigit oleh anjing positif dari hari pertama dia tergigit 2 vial setelah 7 hari, dan lagi satu 21 hari,” tambahnya.
Dari data, perkembangan kasus gigitan anjing dari tahun 2019 itu ada 3.256 dengan kasus positif rabies 244, di 2020 sebanyak 2.289 gigitan dengan kasus positif 5, dan kemudian pada 2021 ada 2.410 gigitan dengan kasus positif 65. Sedangkan di 2022 sampai Mei ini sudah 1.410 gigitan dengan kasus positif sebanyak 100 kasus.
Kepala Bidang Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit dr. I Gede Ambara Putra juga menyampaikan Bali merupakan endemis dan zona merah untuk rabies. Ketika ada pasien tergigit, minimal harus ada karantina anjing yang menggigit untuk identifikasi.
Penularan rabies menurutnya juga tidak hanya melalui gigitan, bisa melalui air liur anjing. Bila ada gigitan anjing agar dilaporkan melalui perangkat desa, puskesmas terdekat juga melalui aplikasi JES.
Untuk penanganan awal mencuci gigitan dengan air mengalir dengan sabun sampai bersih dengan waktu yang lama. Kemudian di puskesmas dan rumah sakit, ketika ada pasien juga tetep mencuci bekas gigitan anjing itu. (Surya Dharma/balipost)