IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Sebagai penikmat dan mantan pelaku sepak bola tanah air, saya bagaimana pun juga terkagum-kagum dengan kecakapan bermain Timnas U-23 kita. Dari segi individu para pemain, seperti dalam kecakapan penguasaan bola, mengumpan dan bahkan daya tahan fisik terjadi perkembangan yang menurut saya mengagumkan.

Demikian pula dari berbagai aspek lain, seperti kerja sama tim dan penguasaan permainan, sehingga saya berani mengatakan bahwa Timnas U-23 Indonesia tak kalah dari Thailand. Secara keseluruhan itu terbukti dengan dinamika di sepanjang permainan dan gol Thailand yang terjadi di perpanjangan waktu.

Bukan pula soal kelengahan. Para pemain Indonesia mampu mengamankan teritorial pertahanan, bermain di lapangan tengah dan menyerang wilayah lawan. Ini bisa dikatakan lebih maju dari apa apa yang dicapai Timnas sebelumnya.

Hanya saja, menang 1-0 atau 5-0 tetaplah kemenangan. Demikian pula dengan kekalahan 1-0 tak jauh beda dari kalah 2-0. Namanya tetap saja kalah. Sebagai pemain, official dan pendukung itu harus diterima.

Dengan kepala dingin, mari kita bertanya “Kenapa Thailand menang?” Ada beberapa jawaban saya.

Baca juga:  Joki Versus AI dalam Dunia Pendidikan

Namun demikian, saya ingin mulai dengan pernyataan yang sedikit jumawa, bahwa sampai kini medali emas Tim Sepakbola Indonesia di luar Indonesia di Sea Games Manila 1991 masih belum terpecahkan. Timnas pernah menang sebelumnya tahun 1987 di mana Indonesia menjadi tuan rumah.

Sebagai manajer Timnas pada waktu itu, saya tahu betul bahwa Thailand punya tradisi juara. Seiring dengan itu, tradisi ini membentuk mentalitas juara, atau katakanlah kebanggaan diri yang kuat—self-pride.

Dari generasi ke generasi ini diwariskan. Tapi tradisi itu terbentuk tentu dimulai dari menang sekali. Ketika berhasil dipertahankan atau bertahan dalam zona atas, lebih dari dua kali misalnya, terbentuk pandangan atau identitas diri.

Mereka akan terbiasa mengatakan “kita adalah tim pemenang”. Saya memanfaatkan posisi sebaliknya pada 1991.

Menjadi Tim yang baru menang sekali, itupun ketika menjadi tuan rumah tahun 1987, saya memaksimalkan sisi psikologis para pemain. Namun bukan dengan menekan, intimidasi dan sebagainya. Mereka sebaliknya dikondisikan untuk berada dalam suasana senyaman dan selepas mungkin, bahwakm kemenangan bukan mustahil, serta tak perlu merasa tertekan.

Baca juga:  "Mayadnya" Tanpa Menurunkan Daya Saing

Sebelumnya, dengan berbagai cara, saya berusaha untuk “menyelesaikan” persoalan-persoalan yang bersifat eksternal. Para official, pelatih dan pemain tak boleh diganggu oleh urusan-urusan yang sekiranya akan memecah-belah konsentrasi. Ini mulai dari urusan para pendukung, para bandar dan penjudi bola, sampai pada gangguan yang sekiranya datang dari keluarga pemain.

Kedua saya ingin bicara lebih jauh soal kematangan mental. Secara psikologis kita juga bisa mengatakan ini sebagai kemampuan mengelola diri atau self-regulation dari para pemain.

Faktor kematangan psikologis ini terlihat sekali ketika di saat-saat perpanjangan waktu, setelah tercipta gol Thailand dan bagaimana para pemain Timnas merespons dalam permainan mereka. Hujan kartu merah adalah indikasi.

Ketika dengan sebelas pemain tak mampu menang, apalagi jika hanya dengan sepuluh atau sembilan pemain saja. Dengan berkurangnya pemain, muncul masalah penguasaan teritorial, putusnya lini bagian tertentu, dan meningkatnya tekanan.

Sehingga perlu dicamkan bahwa psy war ada dalam kompetisi apapun. Dan tim yang berisi pemain yang matang akan berhati-hati dengan provokasi dan kejadian apapun di lapangan maupun di luar lapangan.

Baca juga:  Digitalisasi Strategi Bertahan Sektor Pariwisata

Terakhir, dan ini adalah keyakinan saya, ada campur tangan Tuhan. Bisa saja, misalnya, saya mengklaim bahwa ketika membawa Timnas sepakbola juara dalam Sea Games tahun 1991, Tuhan sepertinya sayang sama saya. Tapi poinnya bukan itu. Tuhan adalah sandaran di setiap saat, bukan yang terakhir.

Namun tak perlu lebai atau overdosis mengenai campur tangan Tuhan ini. Kita yakin saja Tuhan ada dalam jiwa dan tubuh kita dan tak perlu menyebut-nyebut atau bersikap berlebihan secara simbolis, baik menang maupun kalah.

Selanjutnya mari kita tunggu kiprah Timnas Indonesia U-23 dalam perebutan medali perunggu. Kita sama-sama menonton pada Minggu, 22 Mei 2022. Setidaknya, jika nanti bisa mengalahkan Malaysia, tradisi juara atau sebagai tiga besar kekuatan sepakbola Asia Tenggara menjadi melekat, menjadi identitas yang membantu perkembangan Timnas selanjutnya.

Penulis, Mantan Manajer Timnas, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan Anggota Merangkap Sekretaris Majelis Tinggi partai NasDem

BAGIKAN