Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Konsekuensi pelaksanaan Pemilu 2024 serentak adalah hadirnya penjabat (Pj.) kepala daerah yang akan diangkat pada tahun 2022 ini sebanyak 101 orang. Polemik masih terus terjadi.

Terbaru penolakan Gubernur Sulawesi Tenggara untuk melantik 3 Pj. kepala daerah karena keputusan Kemendagri dianggap tidak sesuai aspirasi daerah. Pembelajaran demokrasi selama ini adalah dinamika politik selalu dihinggapi penyakit yang membawa cacat demokrasi.

Cacat itu terdiri atas cacat prosedural, berupa karut-marut penyelenggaraan, hingga cacat substansial berupa tingkah polah kontestan yang tidak berintegritas. Cacat yang paling berbahaya dan dikhawatirkan masih akan terjadi pada Pemilu 2024 adalah amoralitas politik.

Cacat Demokrasi

Permasalahan bangsa menurut Al-Qardhawi (2002) pada dasarnya merupakan persoalan moralitas. Moralitas dan fatsun politik Indonesia dinilai rendah dalam berdemokrasi (Nahwi, 2014). Amoralitas politik masih menghantui jalannya demokrasi. Banyak praktik politik amoral yang mesti diwaspadai.

Yang pertama adalah politik uang. Politik uang dalam pemilu dan pilkada menjadi kunci yang berpotensi membuka pintu praktik korupsi. Pemilu dan pilkada kerap dijalani dengan logika bisnis.

Baca juga:  Pemilu 2024, Hindari Narasi Politik Praktis

Uang kampanye adalah modal yang mesti kembali dan menjadi laba dalam masa jabatan. Setiap jelang pelaksanaan pilkada, sering mencuat kasus tindak pidana korupsi.

Belajar pada Pilkada 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tangkap tangan terhadap kepala daerah yang menjadi petahana dalam kontestasi demokrasi. Yakni Bupati Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tenggara.

Transparency Internasional (TI) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 dengan skor 37. Angka ini turun dari skor 40 pada tahun 2019. Peringkat Indonesia juga melorot dari 85 menjadi rangking 102 dari 180 negara yang disurvei.

Di Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). Kita hanya sejajar dengan Gambia.

Meski Gambia belakangan ini membaik dalam hal kontrol terhadap korupsi, terutama di bidang hak pilih dan persaingan elektoral (Rahman 2019).

Baca juga:  Mengkritisi Abrasi di Bali

Kedua adalah politik pencitraan. Realitas politik di Indonesia, menurut Yasraf Piliang (2005) didominasi rekayasa seakan-akan. Tradisi politik citra booming semenjak Era Reformasi yang memberikan ruang pers sebebas-bebasnya.

Politik citra memiliki konotasi positif sekaligus negatif. Politik citra positif mengemas realita agar bernilai politis. Sedangkan politik citra negatif adalah merekayasa keadaan dengan menyembunyikan atau
bersifat seakan-akan. Pencitraan negatif adalah penipuan publik.

Ketiga adalah konflik politik. Gesekan horisontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi.

Keempat adalah perselingkuhan politik. Perselingkuhan politik yaitu perilaku menjijikkan antara kontestan dengan penyelenggara pemilu, atau kontestan dengan pengusaha. Kontestan dengan penyelenggara berselingkuh untuk saling jual beli pengaruh demi manipulasi proses pemilu. Kontestan dan pengusaha berselingkuh dalam hal modal politik dengan iming-iming dukungan politik terhadap investasinya.

Rekonstruksi Moral

Amoralitas politik mesti dikikis, demi peningkatan kualitas demokrasi dan perbaikan nasib bangsa lima tahun mendatang. Semua pihak perlu bergandengan tangan melakukan perbaikan moralitas politik.

Baca juga:  Perhatian Dunia Fokus ke Tiongkok dan Amerika Serikat

Beragam pendekatan juga penting dilakukan demi efektivitas upaya rekonstruksi. Langkah pertama yang diambil adalah dengan pendekatan spiritual.

Spiritualisme adalah sisi fundamental dan oase moralitas manusia. Aspek ini diharapkan dapat menyentuh sisi terdalam pelaku politik amoral untuk sadar dan memperbaiki dirinya.

Kedua dengan penegakan hukum. Hukum dapat menjadi efek jera atas praktik politik amoral sekaligus melanggar peraturan. Kuncinya adalah penegakan yang berkeadilan.

Pengawasan publik akan lebih efektif dan masif jika digerakkan. Publik setelah melek politik dan regulasi dapat ikut mengawasi lingkungannya dari praktik politik amoral.

Pelanggaran dapat langsung dihakimi publik secara sosial, hingga pencabutan dukungan elektoral. Pelanggaran berat dapat dilaporkan ke Bawaslu. Kuncinya publik mesti dididik agar melek politik.

Rakyat rindu hadirnya politik bermoral demi menghasilkan kepemimpinan berkualitas. Pj. Kepala daerah baru penting memberikan keteladanan kepemimpinan sebagai modal menjawab tantangan hingga akhir periode kepemimpinan ke depan.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN