Oleh I Gusti Ketut Widana
Demikian terus berulang rangkaian ritual dari waktu ke waktu menjadi sebuah siklus baku kewajiban umat Hindu sebagai bentuk pembayaran hutang (Rna) melalui pelaksanaan yadnya. Tak terkecuali ritual Sugihan (Jawa-Bali) beberapa hari sebelum hari suci Galungan yang lazim juga disebut “piodalan/otonan jagat”. Menyongsongnya disambut serangkaian ritual pendahuluan, mulai dari Tumpek Bubuh/Wariga, menjadi pengingat agar tumbuhan/pepohonan berbunga dan berbuah lebat untuk nanti dihaturkan saat Galungan.
Selepas Tumpek Bubuh, berturut-turut dilanjutkan Sugihan Pangenten, lalu Sugihan Jawa, pada Kamis/Wraspati Wage wuku Sungsang, menyusul Sugihan Bali keesokan harinya, Jumat/Sukra Kliwon Wuku Sungsang. Rangkaian ketiga ritual Sugihan ini merupakan konsep filosofis yang sangat rasionalis, bahwa sebelum menyambut hari kemenangan Dharma atas Adharma, umat diingatkan (ngentenin) untuk terlebih dahulu “masugi” — membersihkan diri, dimulai bhuwana agung (alam) lanjut bhuwana alit (manusia). Kata ‘membersihkan’ dimaksud bukan berarti “menghabisi” seisi alam dengan cara eksplorasi dan eksploitasi tanpa henti, melainkan membebaskan diri dari sifat, sikap dan perilaku serakah/rakus (loba) yang mengarah pada pencemaran, perusakan, apalagi penghancuran alam.
Hanya dengan begitu, kondisi dan potensi ekosistem alam dapat terawat, terjaga dan diharapkan menjadikan umat “sugih” (kaya) sumber daya hayati guna dihaturkan sebagai “suguh” — persembahan yadnya dengan segala keperluan material ritual secara mandiri, tidak lagi impor dari luar. Jangan lupa pula ngaturang “segeh (-an)” untuk sarwabhuta agar bertransformasi menjadi bhutahita, demi kesejahteraan dan keharmonisan seisi dunia. Bagaimanapun, tujuan yadnya itu mengharmoniskan alam, bukan menjadikannya krisis, kritis apalagi sampai habis oleh sebab praktik ritualistis simbolis?
Aktivitas ritual apapun namanya, termasuk Sugihan tetap berada dalam ranah simbolik. Diperlukan pengejawantahan ke dalam kancah perilaku ekologik. Kosmologi Hindu yang berlandaskan konsep alam (naturisme) mengingatkan umat sebagai bagian psikokosmos — kesatuan jiwa alam semesta. Sarwam idham kuthem bhukem – bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Manusia sebagai elemen mikrokosmos tak ubahnya seperti miniatur alam semesta (makrokosmos) yang kemudian menjadikannya sebagai manusia kosmik — insan alam yang tak terpisahkan dari alam raya. Dari padanya diharapkan bangkit kesadaran kosmik yang menempatkan alam beserta unsur-unsurnya tak ubahnya sebagai organime tubuh manusia, yang wajib dipelihara, dirawat, dan dijaga kondisinya agar tetap sehat dan bermanfaat.
Katakanlah alam dengan hutan belantaranya, disebut sebagai paru-paru dunia, membuat manusia bisa bernafas lega dengan menghirup oksigen yang dihasilkan. Jika hutan-hutan di berbagai belahan dunia bertambah rusak atau bahkan dihabisi, berimbas pada manusia akan sesak nafas, bahkan berujung tidak bisa bernafas lagi. Tak ubahnya seperti belahan jiwa, alam besar (bhuwana agung) dan alam kecil (bhuwana alit) adalah satu kesatuan jiwa yang satu sama lain saling menghidupi dan memengaruhi kondisinya. Alam terawat akan membuat manusia sehat, sebaliknya alam yang disakiti menjadikan manusia juga tersakiti, bahkan berakhir mati.
Berpikir seperti ini, mendorong umat untuk mencintai dan melestarikan alam sebagai bagian dari religiositasnya. Hindu memiliki konsep ekoreligi bahwa melestarikan alam adalah bagian dari iman (sraddha). Tanpa alam yang harmoni dan lestari, aktivitas ritual Hindu sebagaimana dirinci Bhagawadgita, IX. 26 perihal unsur-unsur pokok persembahan yadnya berupa patram (daun), puspam (bunga), phalam (buah), toyam (air), apalagi tambahan anam (ajengan ketipat) dan ayam (panggang) tentunya tidak dapat dipenuhi untuk dihaturkan.
Oleh karena itu, sloka Bhagawadgita, III. 14 mengingatkan: “adanya makhluk karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya dan adanya yadnya karena karma”. Jadi, Karma atau perbuatan nyata terbukti menjadi kata kunci bagi keberlangsungan kehidupan segenap makhluk. Bahwa umat Hindu tidak hanya mumpuni dalam soal beraktivitas ritual berunsurkan material, tetapi juga diharapkan piawai dalam urusan memelihara, merawat dan menjaga keharmonisan dan kelestarian alam.
Melalui ritual Sugihan (Pangenten, Jawa dan Bali) umat diingatkan sekaligus dibangkitkan kesadaran kosmiknya, sebelum mengibarkan panji kemenangan dharma atas adharma, “masugi” dulu dengan mengalahkan sifat, sikap dan perilaku egoistik terhadap alam, diganti tindakan ekologik demi keberlangsungan ekosistem dalam kondisi harmoni dan lestari sehingga alam tetap “sugih” untuk “suguh”– persembahan Galungan.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar