Tradisi Bakcang digelar di Pantai Kuta, Jumat (3/6). (BP/Istimewa)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Pada Jumat (3/6), bertepatan dengan hari kelima bulan lima pascaperayaan Imlek dalam penanggalan Lunar atau kalender Imlek, warga keturunan Tionghoa merayakan Peh Cun, yang berarti Hari Bakcang. Peringatan itu dirayakan rutin setiap tahunnya, untuk mengenang tokoh Cina bernama Qu Yuan.

Pada persembahyangan ini, juga diisi dengan pementasan Tari Barongsai dan pelepasan penyu ke laut lepas. Menurut Ketua pengurus Vihara Dharmayana/Leng Gwan Byo Kuta, Adi Dharmaja, persembahyangan ini sudah diwarisi secara turun temurun.

Baca juga:  Tinjau Lokasi Groundbreaking Tol Gilimanuk, Ini Kata Gubernur Koster Soal Lahan Warga Kena Jalur 

Intinya, kata Adi, mengenang seorang perdana menteri sekitar 2500 tahun lalu pada zaman Kerajaan Chiu, yakni perdana menteri Qu Yuan yang merupakan seorang penyair dan pejabat pemerintahan dari Negara Chu pada Periode Negara Perang. Qu Yuan memiliki karier politik yang bagus sampai seluruh menteri Kaisar Huai menuduhnya, membuatnya dikucilkan dari arena politik Negara Chu.

Dan akhirnya negara Chu dikalahkan Negara Qin. Mendengar kabar kekalahannya, Qu Yuan merasa sangat sedih karena negaranya hancur dan rakyatnya banyak menjadi korban.

Baca juga:  Kembali, Bali Post Kirimkan Bantuan Gempa Lombok

Dia bunuh diri melompat ke Sungai Miluo di provinsi Hunan. Tradisi hari bakcang ini bermula dari rakyat yang bersimpati atas kematian Qu Yuan.

Mereka melempar nasi ke dalam sungai untuk mencegah makhluk di dalam air memakan jenazah Qu Yuan. Tradisi ini akhirnya terus menerus dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa sampai sekarang. “Kita sangat bersyukur bisa menjaga tradisi budaya ini, meski dalam era globalisasi, namun masih bisa dijalankan ritual ini,” ucapnya.

Baca juga:  Nelayan Tak Melaut, Aktivitas Pemindangan di Kusamba Tetap Normal

Untuk di Bali kata dia, ada perpaduan budaya, dengan budaya Bali yang telah diwariskan secara turun temurun. Yang mana pada prosesi persembahyangan Bakcang ini, juga menggunakan sarana canang. “Makna dari canang ini sama seperti di kita, diajarkan, bila melakukan persembahyangan, minimal ada persembahan kembang. Untuk di Bali, persembahan dengan menggunakan canang sudah menjadi tradisi. Apalagi warga Tionghoa di sini sebagian besar merupakan orang Bali,” bebernya. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN