I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh : I Gusti Ketut Widana

Salah satu penanda khas pelaksanaan ritual suci Galungan adalah pemasangan Penjor. Ada yang dibuat sederhana tapi bermakna, ada pula tampak seperti penjorjoran, dikreasi berlebihan sehingga layak disebut “penjor lebay”.

Dibuat dengan isian berlebihan, lalu ketika berdiri tegak, awalnya melambai tertiup angin namun
kemudian lunglai dan terkulai lantaran keberatan muatan. Merujuk pandangan Piliang (2005) perilaku
umat seperti ini dapat disebut sebagai bentuk ritual artifisial, dipengaruhi budaya materialisme serta gaya hidup konsumerisme mengarah hedonisme.

Hasratnya adalah memanfaatkan momen ritual sebagai ruang dan waktu pemanjaan jiwa, bukan lagi penyucian jiwa. Aktivitas ritual semacam ini, semisal lewat tampilan Penjor-joran tampak berkembang menjadi media ekspresi melalui berbagai tanda (sign),
ilusi, prestise, gaya hidup (lifestyle), dan pesona objek (fetishim) yang ditawarkan di dalamnya.

Eksis kemudian apa yang disebut sebagai budaya komoditi, menjadikan kegiatan ritual tak ubahnya seperti komoditas untuk kepentingan reproduksi identitas berlabel pencitraan, ataupun gengsi sebagai
bagian masyarakat berkelas. Semakin tak terarah, malah bisa juga kian parah ketika ditambah fenomena “Mamenjor”, yang tak dapat dipungkiri telah
menjadi bagian lumrah keseharian masyarakat.

Baca juga:  Dua Hari Raya Pererat Toleransi di Belimbingsari

Kata Mamenjor sebenarnya berarti membuat dan
kemudian memasang Penjor, sehari menjelang Galungan sebagai simbol kemenangan Dharma atas Adharma. Namun ketika dimaknai sebagai kata bernada sesenggakan/sesimbing, istilah Mamenjor dicetuskan untuk maksud menyinggung atau menyindir sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung suka membenamkan kebenaran (Dharma), lantaran bagian lurus bambu ditanam. Sebaliknya
hal-hal yang tidak benar (Adharma) justru lebih
ditonjolkan, terlihat dari bagian bengkok/lengkung bambu dipenuhi berbagai hiasan.

Selaras dengan analogi kitab Manusmrti perihal kecenderungan zaman, saat ini sering disebut sebagai Kali Yuga, dikatakan kaki Dharma tinggal satu, sementara yang tiga lagi ditopang kaki Adharma. Artinya, dominasi kuasa Adharma, diakui ataupun tidak telah mendominasi gerak pikir, ucap dan perilaku
manusia, yang dalam khazanah Bahasa Bali lazim disebut “Mamenjor”.

Penjor yang sebenarnya secara denotatif berarti kegiatan memasang, menancapkan atau mendirikan simbol ritual sebagai penanda kemenangan Dharma atas Adharma, justru dikonotasikan sebagai bentuk budaya berperilaku ‘nungkalik’ (paradoks atau kontradiksi). Dharma dalam konteks filosofi Galungan
wajib ditegakkan, justru “ditegakin” (diduduki) dikalahkan, yang beberapa cirinya disebutkan dalam Kakawin Niti Sastra IV, 9-10 : “Karena pengaruh zaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi. Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya. Kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan
orang-orang angkara murka, tingkah laku hina dianggap utama, kebodohan dinamakan kebijaksanaan, orang yang rendah budinya disebut
mulia, sungguh suatu anggapan yang aneh, dan orang-orang yang seharusnya berperilaku benar/baik justru bertindak salah”.

Baca juga:  Ambiguitas Penerapan PPKM

Ciri zaman Kali di atas begitu akurat menandai semakin menguatnya fenomena “Mamenjor”. Keberadaannya tidak jauh, disadari ataupun tidak, bisa saja telah masuk dan merasuk menjadi bagian perilaku masyarakat kebanyakan.

Perilaku “Mamenjor” ini adalah ekspresi bentuk Adharma yang dapat menggelapkan sinar suci Atman, menyelubungi aang jiwa, memandulkan intelektualitas, membekukan kesadaran sang diri hingga akhirnya membutakan hati nurani. Manakala kebutaan hati telah menggelapkan nurani, maka yang berpesta pora merayakan kemenangan, bukannya
Dharma melainkan Adharma.

Baca juga:  Jelang Galungan, Warga Bangli Mulai Serbu Penjual Sarana Upakara dan Penjor

Dalam keseharian hidup, perilaku “Mamenjor” ini antara lain berupa penyakit hati, seperti rasa iri, berujung dengki, antisosial (konflik) antar teman, keluarga, kelompok kepentingan, dll. Pada level masyarakat kebanyakan, tampak pula kian mentradisinya kebiasaan menenggak miras (termasuk saat hari suci Galungan), hingga penyalahgunaan narkoba.

Meningkat pula kasus kriminal yang dilakukan semeton Hindu, mulai pencurian, perampokan, pencabulan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Lebih fenomenal lagi belakangan kian marak terungkap kasus korupsi dana LPD (Lembaga
Perkreditan Desa) oleh oknum pengurus yang “mamenjor” menjadi penguras uang nasabah hingga berubah menjadi “LPD” atau Lan Pisne Dum”.
Ternyata, Galungan baru sebatas kemenangan simbolik, belum sepenuhnya mengejawantah dalam praktik merealisasikan ajaran dharma.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN