Oleh Djoko Subinarto
Dekarbonisasi kawasan urban menjadi bagian krusial dalam ikhtiar mewujudkan kawasan kota yang lebih layak huni dan berkelanjutan. Target nol emisi karbon, yang tertuang dalam Perjanjian Paris dan telah disepakati oleh 194 negara, perlu dicapai agar laju pemanasan global tidak terus berlanjut. Jika gagal mencapai nol emisi karbon berarti kita gagal menstabilkan atmosfer. Dan itu berarti pula pemanasan global akan berlanjut dengan segala risiko dan konsekwensinya.
Secara umum, yang dimaksud dengan nol emisi karbon yaitu untuk setiap satu ton karbon yang dilepaskan dari geosfer ke atmosfer, sebagai buntut dari berbagai aktivitas kita menggunakan energi berbasis fosil, satu ton karbon tersebut harus dikembalikan lagi dari atmosfer ke geosfer, baik secara alami seperti diserap oleh lautan, tanah dan tanaman, atau melalui rekayasa perangkat khusus yang mampu menyerap karbon.
Bagi setiap negara, kawasan perkotaan memainkan peran sentral dalam ikhtiar pencapaian target nol emisi karbon. Meski kawasan perkotaan mencangkup hanya sekitar tiga persen wilayah Bumi, kawasan ini justru memiliki kontribusi paling besar atas emisi karbon selama ini, yakni sekitar 70 persen. Oleh sebab itu, dekarbonisasi kawasan perkotaan wajib menjadi salah satu prioritas utama dalam mewujukan target nol emisi karbon dan sekaligus menjadikan kawasan perkotaan sebagai tempat tinggal dan tempat berkerja yang berkelanjutan. Terdapat sekurangnya lima sektor yang harus menjadi sasaran utama program dekarbonisasi kawasan perkotaan. Apa saja? Pertama, sektor transportasi. Moda transportasi berbahan bakar nonfosil perlu segera menggantikan moda transportasi berbahan bakar fosil. Saat ini, beberapa negara telah mengembangkan prototipe mobil listrik yang ramah lingkungan, baik untuk keperluan transportasi massal maupun untuk transportasi pribadi.
Oleh sebab itu, infrastruktur untuk mobil listrik, salah satunya yaitu stasiun pengisian kendaraan listrik umum, perlu mulai dipersiapkan sejak sekarang. Di saat yang sama, infrastruktur untuk sepeda dan jalan kaki juga ditingkatkan. Selain ramah lingkungan, penggunaan sepeda dan jalan kaki juga membuat kita lebih sehat. Sementara itu, bekerja dari rumah (WFH) perlu lebih ditradisikan karena akan ikut mengurangi mobilitas di luar ruang sehingga ikut mengurangi jejak karbon. Kedua, sektor energi. Sumber energi berbasis fosil secara berangsur harus kita tinggalkan. Energi bersih dan terbarukan adalah penggantinya. Untuk listrik, misalnya, tenaga surya bisa menjadi andalan. Apalagi kita tinggal di kawas tropis, di mana sepanjang tahun tersedia matahari sehingga energi sinar surya ini cukup melimpah. Selain itu, negara kita juga memiliki banyak daerah pegunungan yang menghasilkan pasir silika sebagai bahan dasar lempengan untuk pembangkit listrik tenaga surya. Yang dibutuhkan hanyalah keseriusan dan komitmen pemerintah dan sejumlah pihak terkait dalam mengembangkan sektor ini.
Ketiga, sektor pengelolaan sampah. Sistem open dumping dan landfill masih menjadi andalan utama pengelolaan sampah di banyak kawasan perkotaan di negara kita saat ini. Sistem Open dumping adalah menempatkan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) begitu saja, tanpa penanganan lebih lanjut. Sedangkan landfill yaitu menempatkan sampah di TPA, lantas diratakan serta dipadatkan menggunakan alat berat dan diurug tanah. Sistem dumping maupun landfill bukan saja berpotensi menjadi sumber pencemaran terhadap air, tanah serta udara, tetapi juga dapat berkontribusi terhadap penumpukan gas rumah kaca. Diperlukan inovasi teknologi dalam hal pengelolaan sampah di perkotaan agar kian ramah lingkungan dan tidak semakin menambah penumpukan gas rumah kaca. Tak kalah pentingnya adopsi gaya hidup zero waste yang meliputi formula 5R, yaitu refuse (menolak), reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang) dan rot (membusukkan sampah) di kalangan warga perkotaan.
Keempat, sektor industri. Berbagai jenis industri, termasuk semen, makanan dan minuman, serta besi dan baja, menyumbang sekitar dua pertiga dari emisi karbon di sektor industri. Target nol emisi karbon harus pula menjadi perhatian kalangan industri, tanpa harus mengurangi daya saing mereka. Efisiensi energi berikut pengunaan sumber-sumber energi bersih dan terbarukan maupun penggunaan teknologi penyimpanan karbon perlu mulai jadi bagian utama perencanaan pengembangan sektor industri kita di masa depan. Kelima, sektor bangunan. Secara global, bangunan-bangunan di perkotaan rata-rata menghabiskan antara 40-50 persen konsumsi energi, 20 persen konsumsi air, dan memproduksi 40 persen sampah. Ditaksir, bangunan-bangunan di perkotaan menghasilkan sekitar 35 persen gas rumah kaca. Dibadingkan negara-negara Asia lainnya, Indonesia bisa dibilang ketinggalan jauh dalam soal penerapan konsep bangunan ramah lingkungan. Merujuk kepada data Green Building Council Indonesia (GBCI) (organisasi nonpemerintah yang mendukung penerapan bangunan ramah lingkungan melalui penerbitan sertifikasi) baru sekitar 20 gedung di Indonesia yang sudah tersertifikasi sebagai bangunan yang ramah lingkungan. Bandingkan, misalnya, dengan Singapura, yang telah memiliki 1.200 gedung ramah lingkungan atau Korea Selatan, yang sejauh ini telah mempunyai 1.786 gedung ramah lingkungan.
Di luar kelima sektor itu, ikhtiar dekarbonisasi kawasan perkotaan juga perlu dilakukan dengan memperluas tutupan kanopi hijau perkotaan. Maka, penanaman pohon perlu kian diintensifkan. Satu pohon dewasa yang sehat mampu menyerap sekitar 21 kilogram karbon dioksida per tahun. Idealnya, jumlah pohon dewasa yang ada di sebuah kota adalah dua kali atau tiga kali lipat jumlah penghuni kota. Dalam mengejar target nol emisi karbon dengan melakukan dekarbonisasi kawasan perkotaan ini, pemerintah kota perlu berkolaborasi bahu-membahu dengan kalangan industri dan masyarakat. Kerjasama mungkin juga perlu digalang sampai pada level mondial, yang melibatkan kerjasama antarpengelola kota dari berbagai belahan dunia.
Penulis, kolumnis dan bloger