I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Ketika terjadi gerhana bulan, malam menjadi temaram. Terdengar benda-benda dipukul bertalu-talu dari penjuru arah. Pada masa lampau, di tengah
masyarakat Bali dan juga Jawa, peristiwa itu dipandang sebagai suatu mara bahaya sedang mengancam kehidupan.

Dongeng, legenda, dan mitologi kepercayaan itu begitu merasuk dalam alam pikiran generasi terdahulu. Gemuruh bunyi-bunyian berasal dari lesung, ketungan, kentongan hingga alat-alat dapur, bertujuan mengusir atau menggagalkan cengkeraman Kalarahu yang beringas hendak menelan bulan.

Ketika kemudian bulan kembali tampak dan langit benderang, orang-orang pun berona suka cita dimana Kalarahu disyukuri telah enyah. Anak-anak dan para remaja biasanya berhamburan ke luar rumah, bermain dan bercanda riang gembira di bawah senyum sejuk sinar rembulan.

Cerita “Bulan Kapangan” itu masih berbinar di tengah masyarakat Bali hingga kini. Kendati dalam tradisi mendongeng ia semakin jarang dituturkan, akan tetapi tetap berdenyut dan menjadi sumber inspirasi jagat seni.

Tak terhitung banyaknya lukisan, patung, dan relief diciptakan dengan stimulasi kisah raksasa menelan bulan tersebut. Salah satu lukisan klasik gaya Kamasan yang bertajuk “Kalarahu dan Ratih” (1973) karya Ketut Madra, misalnya, menyajikannya dengan
begitu teliti dan apik.

Baca juga:  Sensus Penduduk dan Arah Pembangunan Bangsa

Setengah mulut Kalarau dengan mata melotot besar menutupi bagian atas bulan yang didalamnya duduk Dewi Ratih memangku sebuah alat tenun. Sedangkan dalam bentuk seni rupa tiga dimensi, yang terbaru misalnya, berupa patung Kalarahu yang bermedia beton dipajang di pusat Kota Gianyar.

Ternyata, bukan hanya masyarakat Bali dan Jawa saja yang memiliki tuturan dongeng, legenda dan mitologi tentang gerhana bulan ini—di belahan dunia lain ada yang menyamakannya dengan gerhana matahari. Masyarakat Yunani Kuno, misalnya, percaya bahwa gerhana bulan pertanda adanya kemarahan para dewa yang akan dapat mendatangkan malapetaka.

Bangsa Inca di daratan Peru percaya gerhana bulan disebabkan oleh terkaman jaguar (harimau besar). Sementara itu bangsa Tiongkok mempercayai mitos bahwa gerhana bulan merupakan wangsit akan munculnya iblis yang menebar teror.

Semuaem esensi kisah gerhana bulan tersebut—juga gerhana matahari—hampir sama di perjuru duniaym yaitu suatu pertanda yang patut di waspadai. Di tengah masyarakat Jawa misalnya, berkembang kewaspadaan mistis yaitu perempuan yang sedang hamil harus bersembunyi saat gerhana bulan.

Baca juga:  Memikat Kaum Milenial Tekuni Agroekoteknologi

Masyarakat Jawa yang hingga kini masih kentara dengan jejak-jejak budaya Hindu-Buddha peninggalan
Majapahit, memperoleh kepercayaan berkaitan dengan gerhana bulan itu dari susastra Hindu, Adi Parwa, episode pertama epos Mahabharata. Demikian
pula masyarakat Hindu Bali yang secara estetik-kultural banyak berorientasi dari wira cerita asal
Negeri Hindustan itu.

Muatan mitologi bagian awal cerita Mahabharata yang menebar dongeng atau legenda dalam relegi-kultural masyarakat Bali, ditransformasikan secara sadar para insannya dalam pengejawantahan kreatif, berwujud presentasi nilai estetis kesenian. Selain dalam ekspresi seni rupa, kisah Kalarahu dalam pewacanaan beragam kontekstualisasi moralitasnya,

dituangkan dalam puspa warna seni pertunjukan.
Gerhana bulan adalah peristiwa astronomis
yang kini kehadirannya dapat diprediksi dengan
tepat dalam segala detailnya. Namun demikian,
pesan gaib dan mistis yang menyelimuti dongeng,
legenda, dan mitologi dari peristiwa alam yang
kini dipandang biasa oleh manusia modern, patut
disibak kearifanya, yaitu agar kita senantiasa eling dan menjaga harmoni dengan yang ada dan
tiada, herizontal dan vertikal.

Baca juga:  Merdeka Merah Putih

Apa yang mendera manusia sedunia, yaitu pandemi Corona-19 mematikan yang, syukur, mulai melandai ini, semestinya menjadi kesempatan merenung dan sekaligus mendapat solusi menyelamatkan peradaban dengan harapan pageblug sejagat yang sepanjang dua tahun lebih—walau belum sepenuhnya sirna, tidak lagi dialami dan diderita generasi yang akan datang.

Sebab, malapetaka mengerikan tersebut bukan hanya sekali mengoyak dunia, sudah berkali-kali terjadi, mengguncang kehidupan dan berakibat duka lara berkepanjangan. Nah, kini, ketika Kalacorona mulai melepaskan cengkramannya pada penduduk bumi, tak berlebihan bila dimaknai dengan rasa syukur.

Masyarakat Bali khususnya lazim mengewantahkan dengan ekspresi seni. Ungkapan suka cita tersebut dihadirkan dalam kelegaan berkesenian di tengah masyarakat. Pemda Bali pun pada tahun 2022 ini, 12 Juni-10 Juli, kembali menggelar Pesta Kesenian Bali (PKB), setelah sebelumnya, 2020 ditiadakan dan 2021 dilangsungkan secara “minimalis adaptif”.

Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN