Wayan Sayoga. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sebuah film yang mengangkat tokoh Gatotkaca dengan judul “Satria Dewa: Gatotkaca” hangat diperbincangkan setelah tayang di bioskop mulai 9 Juni 2022. Film ini berkisah tentang bangkitnya kekuatan ksatria Pandawa, Gatotkaca, untuk mengalahkan dan menaklukan para pasukan Kurawa.

Terkait adanya film ini, Forum Advokasi Hindu Dharma (FAHD) melayangkan surat terbuka terhadap Satria Dewa Studio yang merupakan rumah produksi film disutradarai Hanung Bramantyo ini. Menurut Ketua Umum FAHD, dr. Wayan Sayoga dalam keterangan pers yang diterima Kamis (16/6), ada dua permintaan yang dituangkan dalam surat itu sehingga film yang tema sentralnya tentang Gatotkaca ini, tidak bias dengan sejarah sesungguhnya.

Ia mengapresiasi dirilisnya “Satria Dewa: Gatotkaca”, saat umat Hindu masih dalam situasi merayakan Hari Suci Galungan. “Kami sangat mengapresiasi Bapak Andi Wijaya selaku CEO dan Bapak Hanung Bramantyo selaku Sutradara yang telah mengangkat tema yang merupakan bagian dari sejarah Peradaban Sindhu-Saraswati, yang tiada lain adalah juga akar dari Peradaban Nusantara yang penuh pengetahuan dan kebajikan,” jelasnya.

Baca juga:  Diduga Terlibat Perdagangan Manusia, Suciwati dan Aristiani Diadili

Namun, kata Sayoga, bagi seluruh pemeluk Hindu Dharma di dunia, kisah Mahabharata merupakan sumber pengetahuan yang sangat menginspirasi di mana di dalamnya mencakup kisah Pandawa, Korawa, dan Gatotkaca, yang merupakan sejarah atau kisah nyata yang terjadi 5.000-an tahun yang lalu.
Itulah sebabnya, mengapa Mahabharata disebut sebagai “Itihasa” yang makna harfiahnya berarti; “ini sejarah”.

Ada bukti-bukti tinggalan sejarah tersebut, terutama tentang tempat pertempuran Bharatayudha, yaitu Kurukshetra. “Dan, dalam sejarah Mahabharata yang diwarisi oleh pemeluk Hindu Dharma di belahan dunia manapun, tidak ada yang mengaitkan silsilah leluhur Pandawa atau Korawa ataupun Gatotkaca dengan nabi-nabi manapun juga yang dikenal dalam keyakinan non Hindu,” paparnya.

Baca juga:  Gelombang COVID-19 Ketiga Melanda, Bali Miliki Enam Ribuan Kasus Aktif

Ia mengatakan film selain merupakan media penting untuk menginformasikan sesuatu, pada saat yang sama juga mesti tidak lupa akan perannya sebagai alat untuk mengedukasi dan membangun kesadaran masyarakat. Karena menyangkut edukasi, modal dasar utama yang sangat dibutuhkan adalah niat yang tulus dan kejujuran untuk menyampaikan kebenaran.

Perihal isi dan alur film, ia menilai, demi keindahan dan daya tarik film, boleh-boleh saja fiksi atau dikarang, mengingat dikaitkan dengan zaman modern. “Namun, selain harus ada disclaimer, tentang fiksinya, isi dan alur film, juga harus jelas dinyatakan bahwa keterkaitan silsilah Pandawa dan Korawa yang diceritakan sebagai ada hubungan darah dengan nabi-nabi tertentu dari keyakinan non Hindu tidaklah benar,” tegasnya.

Baca juga:  PPKM Darurat Diperpanjang, Pemerintah Alokasikan Tambahan Anggaran Perlinsos

Ia mengatakan pelurusan ini sangat penting di tengah-tengah “panasnya” isu misionaris dan konversi agama yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan antar umat beragama di Indonesia.

Sayoga juga meminta agar istilah “Jivatma” dalam film ini dikoreksi. Jivatma merupakan bagian integral dari Purusha dan Paramatma yang berbeda dengan roh (shuksma sharira).

“Sebagai satu kesatuan utuh, Jivatma tidak bisa ditarik, dikeluarkan, dan dikuasai sebagaimana diceritakan dalam film. Ya, roh (shuksma sharira) bisa meninggalkan badan, tetapi Jivatma tidak sama dengan roh. Rasanya lebih baik dan bijak menggunakan kata “roh” saja, bukan Jivatma,” ujarnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN