Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A
Teknologi adalah karya terbesar yang telah banyak membantu manusia dalam memudahkan tugas hidupnya. Pada era teknologi informasi saat ini, berbagai informasi dengan cepat dan mudah diakses yang dapat meningkatkan kecerdasan intelektual kita.
Namun, seiring dengan kemajuan tersebut, terdapat berbagai degradasi moral yang dilakukan oleh pengguna teknologi. Banyak kasus-kasus yang telah terjadi oleh karena pemanfaatan teknologi yang keliru.
Kasus ringan seperti anak-anak yang kecanduan main gawai yang akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu mengurung diri di kamar tanpa peduli lingkungan, tidak sensitif dan interaktif dengan saudara dan sanak keluarga (alias cuek), dikasi tahu biasanya ngeles, dan bisa marah-marah karena cenderung adiksi.
Kasus-kasus yang tergolong serius seperti menyebar hoaks demi viral, pamer kekayaan (flexing) untuk
mengelabui dan membius konsumen, judi online,
transaksi seks, dan berbagai kasus lainnya yang
menunjukkan sikap yang kurang terpuji. Kasus tergres belakangan adalah sikap dan perilaku yang tidak senonoh yang dilakukan oleh seorang oknum mantan pejabat tinggi di negeri kita tercinta.
Oknum ini dengan tega dan tanpa berperasaan menggunggah wajah Presiden Jokowi pada stupa Candi Borobudur. Bila ini adalah tujuan untuk viral, tentu ini sangat tidak mulia, karena di balik niat viral, ada sosok simbol negara yang diremehkan dan dihina.
Di samping itu, ada agama di balik stupa yang juga
dihina, padahal stupa adalah benda suci yang
dihormati dalam agama Buddha. Menilik latar pendidikan dan jabatan, mestinya oknum ini mampu menjadikan dirinya model sikap dan perilaku yang baik.
Seorang mantan pejabat tinggi negara adalah pengayom masyarakat, sudah selayaknya memberikan keteladanan. Namun, apa yang dilakukan
ternyata menunjukkan sebaliknya. Tanpa disadari, oknum tersebut telah merendahkan dirinya sendiri dengan bersikap kurang elok dalam mengaplikasikan teknologi, yang ditengarai sebagai kepakarannya.
Bila dicermati lebih dalam, banyak pengguna teknologi telah kehilangan sikap kontrol diri dan empati. Yang dipentingkan hanyalah viral tanpa mampu mengontrol apakah konten yang dibuat itu menyakiti orang lain atau tidak.
Bahkan seolah kebencian yang dimiliki kepada orang lain harus ditunjukkan dan ditonjolkan. Mereka tidak memiliki kepedulian dan gagal memahami perasaan orang lain. Mereka belum mampu memosisikan dirinya pada posisi orang yang dihina atau disakiti.
Dengan demikian, menjadi tugas kita bersama pada tiga pusat pendidikan (informal, formal, dan nonformal) di rumah, sekolah, dan masyarakat untuk turut ambil bagian dalam pengembangan sikap empati.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengembangkan sikap empati anak sejak dini.
Pertama adalah kemampuan sensitif. Sensitif atau peka terhadap apa yang dirasakan orang lain adalah dasar dari kemampuan memahami.
Anak-anak bisa dilatih sikap peka ini sejak dini, misalnya bila ada tamu datang, diajarkan untuk menunjukkan keramahan, yaitu menyapa dengan senyum dan menaruh gawai yang sedang digunakan atau dimainkan. Di sekolah atau di institusi formal
lainnya, ketika sedang belajar daring, mereka hendaknya menunjukkan sikap hormat dengan
menyalakan kamera saat virtual meeting, apalagi bila guru sudah menyalakan kamera dan mengajar.
Di masyarakat, sikap peka bisa ditunjukkan dengan misalnya membantu mereka yang terkena bencana alam melalui turut mengumpulkan donasi dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Selanjutnya adalah kemampuan menghargai mereka yang berbeda pendapat.
Perbedaan pendapat itu merupakan sesuatu yang wajar, karena ini bentuk dari hak seseorang untuk
mengeluarkan ide atau opini terhadap sesuatu,
asalkan disampaikan dengan cara yang santun.
Hal yang paling krusial adalah menghilangkan sikap mendeskriminasikan orang lain yang berbeda baik secara agama, budaya, adat istiadat, pilihan politik, dan lainnya yang disampaikan secara vulgar di media sosial.
Sikap ini menunjukkan sikap yang memposisikan
diri lebih tinggi daripada orang lain. Sikap ini cenderung menunjukkan arogansi yang dapat
berkembang menjadi sikap merendahkan dan
menghina orang lain. Jadi orangtua, guru, dan masyarakat hendaknya selalu mendidik anak-anak untuk selalu menghargai perbedaan (kebhinekaan global), yang menjadi salah satu dari profil pelajar Pancasila.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha