I Komang Divo Mahayakti Heriadi. (BP/Istimewa)

Oleh I Komang Divo Mahayakti Heriadi

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Hadi Tjahjanto dalam dua pekan terakhir resmi dilantik Presiden Joko Widodo untuk menggantikan Sofyan Djalil. Pada saat proses serah terima jabatan di Kementerian ATR/BPN, mantan panglima TNI tersebut setidaknya dihadapkan dengan dua pekerjaan besar.

Diantaranya adalah masalah sertifikasi tanah untuk rakyat dan masalah sengketa dan konflik pertanahan. Salah satu pekerjaan rumah pertama dari Menteri ATR/BPN yang baru adalah menyelesaikan target 100 persen pendaftaran seluruh bidang tanah (recht kadaster) di Indonesia.

Agenda ini harus segera dilakukan karena dalam target Rencana Pemerintah Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), pada tahun 2025 yang akan
datang diharapkan 100 persen bidang tanah sudah
terdaftar. Ide tentang gerakan reformasi agraria di negara kita sebenarnya sudah dikenal sejak 1947 dan baru mendapat pemantapan semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960.

Baca juga:  Program Reforma Agraria Berlanjut di Desa Sumberklampok

Kebijakan bagi-bagi sertifikat pada rezim pemerintahan Jokowi tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja, harus dilihat secara utuh dan komperehensif. Kebijakan ini merupakan salah satu dari 9 agenda prioritas Nawacita Jokowi yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program batas kepemilikan tanah seluas 9 hektar.

Dalam salah satu literatur, kebijakan tersebut di atas termasuk salah satu dari beberapa kebijakan reformasi agraria. Reformasi Agraria memainkan peran penting dalam perang melawan kemiskinan perdesaan serta dalam promosi pembangunan berkelanjutan yang berbasis luas. Distribusi tanah bekerja langsung pada promosi keadilan sosial, terutama karena faktor-faktor berikut: a) Tanah menjadi instrumen yang efektif untuk menumpuk kekayaan dan untuk mentransfer kekayaan kepada generasi berikutnya; b) Tanah dapat menjadi jaminan untuk mengakses kredit perbankan, koperasi maupun lembaga keuangan lainnya; c) Kepemilikan tanah merupakan sumber keamanan pribadi dan sosial pada saat usia tua; d) Kepemilikan tanah memberikan status sosial dan kekuatan negosiasi dengan pihak asing.

Baca juga:  Menunggu Kebijakan Menparekraf untuk Pariwisata

Dalam delapan tahun terakhir pemerintah fokus dalam pembangunan infrastruktur dan industri untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara legal. Namun agenda tersebut kerap dilakukan dengan jalan mengambil tanah rakyat demi kepentingan umum sehingga memicu terjadinya sengketa dan konflik sosial berkepanjangan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam salah satu rilis mengatakan bahwa sejak kepemimpinan
Jokowi (2015-2021), terdapat 2.489 letusan konflik agraria di berbagai wilayah. Situasi tersebut merupakan akumulasi dari konflik-konflik agraria lama yang tidak kunjung selesai yang kemudian bertemu dengan konflik-konflik agraria yang baru.Pada masa orde lama pernah ada pengadilan khusus Land Reform yang secara khusus mengadili sengketa di bidang agraria. Namun sejak dihapusnya Pengadilan Land Reform di tahun 1970, maka perkara sengketa pertanahan dikembalikan ke Pengadilan Negeri.

Mengacu pada catatan yang dimiliki oleh KPA, persoalan konflik agraria struktural juga banyak terjadi di wilayah hutan, pertambangan, pesisir dan akibat proyek pembangunan infrastruktur. Situasi demikian tidak hanya melibatkan Kementerian ATR/BPN, namun tidak terbatas pada kementerian lainnya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Baca juga:  Pemuda sebagai Agen Promosi Budaya Bali

Dalam beberapa catatan kasus, Kementerian ATR/BPN menjadi kementerian yang sering menjadi tidak memiliki kekuatan apapun untuk melakukan penertiban soal pertanahan dan tata ruang di Indonesia, terlebih ketika berhadapan dengan kawasan hutan, pertanian, pertambangan, pekerjaan umum, bahkan dengan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan usaha.

Untuk mengurai kompleksitas masalah agraria di Indonesia, maka pelaksanaan reforma agraria dapat menjadi salah satu solusi untuk mengubah nasib rakyat banyak di negeri ini. Reforma agraria dapat membawa dampak yang positif terhadap semua aspek kehidupan masyarakat dan bangsa.

Dampak ini mempertegas urgensi pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pengabaian terhadap reforma agraria sebagai perwujudan nilai-nilai dasar dalam Pancasila, UUD NRI 1945 dan UUPA itulah yang melahirkan berbagai persoalan besar sosial ekonomi yang mendera negeri ini.

Penulis, Alumni Magister Kenotariatan Universitas Udayana.

BAGIKAN