DENPASAR, BALIPOST.com – Merebaknya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Bali jelang Idul Adha membuat peternak sapi merugi. Informasi yang dihimpun, harga sapi yang awalnya berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta, kini hanya dihargai Rp 5 juta.
Peternak sapi di Bali Wayan Mardiana, Senin (4/7), menuturkan, merebaknya PMK jelang Idul Adha akan memicu kekacauan pasokan dan harga. “Peternak sangat terpukul karena pada Hari Idul Adha bisa mendapat harga yang terbaik, tertinggi dari ternak sapinya. Benar-benar terpukul 2 tahun kena COVID-19, sekarang lagi kena PMK. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seharusnya Dinas Pertanian sigap begitu ada wabah segera melakukan monitoring,” katanya
Penularan PMK ini diduga tidak terlepas dari mobilisasi masyarakat maupun produk asal hewan. Pada saat wabah PMK merebak di Jawa Timur, harga daging mengalami penurunan. “Sementara harga daging sapi di Bali masih tinggi, sedangkan tidak ada larangan mengonsumsi daging PMK maka di Jawa sapi -sapi yang sakit dipotong dibawa ke Bali,” ungkapnya.
Mobilitas warga dari Jawa ke Bali cukup tinggi sehingga daging tersebut bisa dimasukkan ke styrofoam dan dikirim melalui bis malam. “Inilah akibatnya. Kalau lewat ternak hidup tidak mungkin karena kita tidak boleh memasukkan sapi, ke Bali juga tidak mungkin. Mewabahnya virus PMK ini bukan karena pemasukan hewan ternak tapi diindikasi masuknya daging dari Jawa Timur atau daerah yang terkontaminasi PMK ke Bali. Pemasukan daging tidak melalui karantina, tapi secara ilegal, itulah lemahnya di pos pengawasan, di pelabuhan,” ujarnya.
Belum lagi, ia mengungkapkan pemerintah memasukkan daging dari India, sementara negara itu belum bebas PMK. “Karena daging di Indonesia mahal dimasukkanlah daging sapi, kerbau dari India dengan harga yang murah,” ungkapnya.
Meskipun telah ada Perda 10 Tahun 2017 yang mengatur larangan pemasukan sapi atau hewan ternak lain dari luar, namun pemasukan secara ilegal tak dapat dihindarkan, terutama produk daging.
Bali sempat mengalami wabah PMK pada 1986 hingga dinyatakan bebas PMK di 1990. Saat itu tak banyak yang bisa dilakukan karena belum ada vaksin, sehingga peternak harus merelakan ternaknya dieliminasi.
Kini dengan kemajuan ilmu pengetahuan, ia berharap vaksin PMK segera didistribusikan ke seluruh wilayah di Bali agar ternak sehat dapat terhindar dari penyakit ternak yang mematikan ini. Selain vaksin, ia berharap ada upaya spraying yang dilakukan sehingga tidak ada virus yang menyentuh hewan ternaknya.
Satu lagi yang menurutnya menjadi penyebab penularan adalah vektor lalat yang kerap mengerubungi sapi.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali mencatat populasi sapi di Bali pada 2022 sebanyak 558.000 ekor. Sementara berdasarkan data BPS, populasi sapi Bali tahun 2021 sebanyak 594.379, meningkat dari 2020 yang sebesar 550.350 dan 2019 sebanyak 544.955.
Dari sisi produksi daging sapi, tahun ke tahun mengalami penurunan yaitu 7.185,25 ton di 2019, 5.898 ton pada 2020, dan 4.651 ton pada 2021.
Sapi Bali lebih banyak dikirim ke luar Bali, salah satunya DKI Jakarta, karena konsumsi daging sapi di Bali relatif kecil. Selain daging sapi, DKI juga bekerja sama dalam pengadaan sapi hidup dari Bali sebanyak 50 ekor pada 2021 dan 201 ekor pada 2020. (Citta Maya/balipost)