Suasana di Underpass Bypass Ngurah Rai, Badung. Jalanan di Bali mulai padat sejak dibukanya pariwisata internasional pascamelandainya kasus COVID-19. (BP/edi)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dunia usaha di Bali kini dijepit oleh berbagai kenaikan. Mulai dari kenaikan harga barang dan ongkos produksi, tarif listrik hingga kenaikan LPG nonsubsidi. Pengusaha Panudiana Kuhn menilai Bali ini maju tapi keropos. Jalan-jalan sudah macet namun hotel tak ada yang penuh.

Dia menilai pada akhirnya beberapa komponen administered price baik listrik maupun BBM akan naik. Pemerintah secaran perlahan-lahan akan mencabut subsidi karena pemerintah tidak akan kuat menanggung subsidi di tengah harga minyak dunia yang semakin mahal. Harga minyak, kata dia, saat ini mencapai USD 300 per barel, sementara harga minyak sebelumnya hanya USD 60 – 70 per barel.

“Berbagai kebijakan terkait aturan pembelian dan kenaikan harga BBM serta tarif listrik yang terjadi saat ini hanya basa-basi saja untuk menaikkan nantinya. Ini hanya politik subsidi,” ujarnya, Senin (11/7).

Jika tidak dinaikkan, ia khawatir Indonesia akan mengalami kebangkrutan seperti Srilanka. Bahkan ia menilai saat ini Indonesia dan Bali mengalami kenaikan inflasi cukup tinggi, terlihat dari harga bahan pangan dan sandang di Indonesia cukup tinggi. Dibandingkan dengan Jerman, justru harga makanan dan transportasi umum lebih murah karena disubsidi pemerintahnya.

Baca juga:  Ini, Riwayat Penyakit Tambahan Korban Jiwa COVID-19 Terbaru

Juni 2022, Indonesia mengalami inflasi 4,35% (yoy) dan secara kumulatif dari Januari sampai Juni 2022 inflasi Indonesia 3,19%. Sedangkan di Bali inflasi lebih tinggi lagi yaitu 5,75% (yoy) dan inflasi year to date 4,20%.

“Aku ini pemakai solar. Untuk beli saja dipersulit (dengan aplikasi dll). Kalau mau menaikkan, naikkan saja, karena kita perlu. Kalau di negara maju, BBM ini tak disubsidi supaya mereka hemat pemakaian. Makanya jika pemerintah mau menggiring transportasi umum, perbaiki dulu karena kan tak nyaman dan aman pakai transportasi umum,” bebernya.

Ia yakin pemerintah akan mencabut subsidi-subsidi yang diberikan karena Indonesia bukan lagi eksportir minyak tapi justru importir. Namun jika mau, Indonesia bisa mengekspor batubara dan kelapa sawit. Dia akui energi saat ini mahal, namun dengan konsekuensi dengan batubara menimbulkan polusi dan tidak ramah lingkungan.

Dengan naiknya beberapa komponen administered price tersebut tentu akan mengurangi daya saing produk para pengusaha di Bali. Bagi pengusaha pariwisata tentu akan berdampak namun mau tidak mau menurutnya hal ini harus dihadapi karena pada akhirnya nanti pemerintah akan menaikkan harga-harga.

Baca juga:  Masyarakat Diminta Tak Sembarangan Viralkan Tindakan Nakal Wisman, Kapolda Ungkap Alasannya

Per 1 Juli tarif listrik juga naik khusus untuk daya 3.500 VA ke atas. Golongan pelanggan yang mengalami kenaikan tarif yaitu pelanggan rumah tangga non subsidi (R2) dengan daya 3.500 sampai 5.500 VA, golongan rumah tangga R3 dengan daya 6.600 VA ke atas, golongan P1, kantor pemerintahan dengan daya 6.600 VA sampai dengan 200 kVA, golongan P3/PJU dan golongan P2 atau daya di atas 200 kVA.

Kenaikan tarif ini tentu berdampak pada sektor pariwisata. Namun harga kamar hotel di Bali masih murah, berbeda dengan di negara lain. “Selama 40 tahun menikmati pariwisata, masak engga ada saving untuk bayar pajak, bayar listrik yang sekarang naik. Sementara untuk bail out tidak mungkin karena negara tidak punya uang,” ungkapnya.

Belum lagi restrukturisasi kredit, relaksasi pajak dan berbagai tawaran kelonggaran dari pemerintah yang selama ini menurutnya tidak berjalan. Pada akhirnya ia tetap membayar pajak dan kredit secara normal. “Bali ini maju tapi sebenarnya keropos karena gempa pandemi selama 2 tahun. Di jalan-jalan sudah mulai ramai tapi hotel-hotel belum penuh. Kebijakan menaikkan harga dan mencabut subsidi ini memang harus dilakukan. Masyarakat juga diharapkan hemat menggunakan energi karena energi mulai berkurang,” tandasnya.

Baca juga:  Kejaksaan Tangani Puluhan WNA Terlibat Kasus Hukum

Akademisi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana mengatakan, recovery ekonomi di berbagai belahan dunia berjalan lambat. Harga minyak dunia yang turut naik patut diwaspadai karena akan menimbulkan efek terhadap industri dan kenaikan tingkat inflasi.

Sektor riil tidak bergerak seperti biasanya tentu akan menjadi kendala dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi. Khusus Bali dengan asumsi perubahan dari pandemi ke endemi maka pertumbuhan ekonomi akan terus positif namun masih akan dibawah angka nasional.

Yang perlu diwaspadai adalah terjadinya stagflasi karena perang Rusia-Ukrania tak kunjung usia, rantai pasokan terganggu dan tingginya harga minyak dunia. “Kita berharap G20 akan memberikan jalan yang solutif untuk pertumbuhan ekonomi dunia dan nasional. Stagflasi bisa dihindari dan dunia dapat pulih bersama,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN