Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Pemilu 2024 sudah di depan mata. Kompleksitas keserentakan pemilu nantinya tidak hanya berdampak dari aspek teknis administraif. Namun yang lebih penting untuk dimitigasi adalah potensi gesekan horizontal yang akan lebih kuat hingga berpotensi menimbulkan koflik sosial.

Setiap pemilu terjadi, salah satu isu mengemuka adalah hadirnya politik identitas. Identitas politik adalah wajar bahkan perlu agar pemilih memahami ideologi politik kontestan. Namun politik identitas yang berkonotasi pada pengagungan identitas satu kontestan dan merendahkan hingga menyerang kontestan lain tentu akan menjadi kontraproduktif bagi demokrasi dan bangunan kebangsaan itu sendiri.

Pemilu 2024 tidak hanya membutuhkan deklarasi kampanye damai yang selama ini formalitas belaka. Lebih dari itu, seluruh kontestan dan pendukungnya memahami dan berkomiten melepas politik identitas dan siap membidas terjadinya provokasi politik belah mambu yang bisa mencederasi persatuan dan kesatuan bangsa

Kebhinekaan Vs Belah Bambu

Kebhinnekaan merupakan keniscayaan yang menjadi keunggulan Bangsa Indonesia. Fakta ini tentu menjadi target empuk pihak-pihak tidak bertanggungjawab guna mencoba mengoyak kebhinnekaan tersebut. Upaya dapat berasal dari eksternal maupun internal.

Pelemahan kebhinnekaan diyakini menjadi kunci masuk memporakporandakan bangunan kebangsaan. Strategi penekanan dari luar justru memicu dan menguatkan kebhinnekaan karena adanya motivasi melawan musuh bersama. Untuk itu rekayasa pelemahan paling berbahaya justru datang dari dalam. Strateginya adalah melalui adu domba atau belah bambu.

Baca juga:  Guru dan Teknologi Saat Pandemi COVID-19

Politik belah bambu secara sederhana dapat dimaknai sebagai taktik pecah belah. Aktifitas membelah bambu umumnya dilakukan dengan satu bagian atas diangkat dan bagian bawah diinjak. Semakin kuat bagian bawah diinjak dan semakin kuat bagian atas diangkat, makin cepat terjadi perpecahan.

Politik belah bambu menurut Wikipedia juga diadefinisikan sebagai strategi bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.  Itulah yang dahulu dilakukan oleh Snouck Hurgonje (Belanda) untuk menaklukkan Aceh.

Gramsci (1891-1937) menyebut politik belah bambu sebagai stick and carrot policy. Kelompok dominan diungkapkan tidak hanya selalu bekerja dengan cara mengekang kelompok lawan, namun malah “bekerjasama” secara halus dengannya. Ada dua cara, yaitu apa yang disebut leading (memimpin) dan dominant (mendominasi). Dalam hegemoni, leading ditujukan kepada kelompok yang bisa diajak bernegosiasi untuk menciptakan aliansi-aliansi baru. Sementara dominant dilakukan untuk menutup saluran perlawanan dari kelompok penekan (pressure group).

Belah bambu akan bisa diredam dengan senjata bersatu bagi kelompok yang disasar. Seluruh kekuatan kebangsaan mesti menjaga eksistensi kebhinnekaan. Kemampuan identifikasi awal perlu dikuasai guna upaya pencegahan.

Baca juga:  Bali dengan Problema Penduduk Pendatang

Asas kecurigaan atas aktifitas atau kehadiran personal baru yang tidak seperti umumnya penting dilakukan. Tentu praduga tidak bersalah mesti menjadi pegangan. Setiap ada suatu orang atau gagasan yang baru dan aneh dalam kacamatan ke-Indonesiaan mesti segera dilakukan pendalaman bersama. Investigasi lanjut patut dirunut guna memetakan pergerakannya.

Benteng terkuat dari serangan belah bambu adalah penguatan ideologisasi kebangsaan. Nasionalisme mesti benar-benar ditanamkan dan diaktualisasikan secara organ kelembagaan maupun perseorangan. Persaudaraan dan toleransi juga mesti dikuatkan jalinannya. Kecurigaan yang berpotensi meretakkan hubungan penting diprioritaskan klarifikasi atau konformasi sebelum dilakukan penyikapan.

Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan jembatan penghubung dari seluruh elemen yang ada di negeri ini. Celah-celah masukknya belah bambu oleh siapapun mesti ditutup rapat. Sense of belonging dan internalisasi ideologi mesti dikuatkan dalam suatu kelompok atau entitas.

Bibit-bibit gesekan hingga konflik mesti segera dipetakan. Jika gesekan terjadi, elit kelompok penting melakukan netralisasi dan mempriotitaskan duduk bersama guna menemukan solusi damai.

Persatuan merupakan amanat konstitusi dan masuk sila Pancasila. Persatuan menjadi kekuatan bangsa Indonesia yang ditakuti dan disegani dunia internasional. Ribuan etnis dan kelompok yang mampu bersatu tentu menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan. Persatuan jika terjadi di negara lain sudah sangat wajar dan mudah mengingat kondisi mereka jauh lebih homogen.

Baca juga:  Pasar Modal Masuk Desa Adat: Implementasi Ekonomi Kerthi Bali

Regulasi penting dikuatkan dalam menaungi dan menjamin terwujudnya persatuan. Sanksi hingga hukum pidana dapat ditempuh jika menemukan pelaku atau kelompok yang terlibat dalam rekayasa belah bambu. Tentu langkah ini tidak boleh pandang bulu. Pelaku yang melakukan belah bambu guna merusak persatuan bangsa merupakan pengkhianat bangsa. Atau jika dilakukan pihak luar maka menjadi musuh negara.

Kompleksitas kondisi demografis dan geografis ditengah dinamika geopolitik global yang dinamis menuntut ketahanan nasional yang prima. Persatuan menjadi salah satu kunci mewujudkannya. Jika tantangan ini dilalui tanpa masalah berarti, maka prasyarat menjadi bangsa besar berada di genggaman Indonesia. Segala daya dan upaya melemahkan persatuan tentu tidak akan membuahkan hasil. Tinggal selanjutnya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang berdaya saing global. Suasana penuh persatuan akan memberikan kondusifitas bagi pencapaian kemajuan bangsa yang berkelanjutan.

Budaya ksatria dan sportifitas dalam kontestasi demokrasi mesti ditunjukkan seluruh kontestan dan simpatisan. Saling balas dendam melakukan belah bambu semestinya tidak dilakukan.  Dengan demikian rantai provokasi belah bambu akan terputus dan tercerai berai sendiri.

Penulis, Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN