Oleh Kadek Suartaya
Pagelaran Gong Kebyar Legendaris memiliki daya tarik tersendiri pada perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV 2022. Aksi pentas yang baru pertama ditampilkan di arena pesta seni ini menunjukkan kepada masyarakat Bali masa kini, torehan berkesenian cemerlang yang telah diukir komunitas pegiat seni pertunjukan kebyar di penjuru Pulau Dewata di masa lalu.
Untuk kali ini, baru enam kantong seni di tiga kabupaten, satu kota, dan lembaga pendidikan seni yang mampu menghadirkannya. Namun menariknya, selain unjuk diri dengan pelaku seni generasi muda, sebagian ada yang dengan bangga masih bisa mengedepankan penabuh dan penari yang dulu mempesona penonton di pertengahan tahun 1960-an hingga 1970-an, era gemuruhnya kompetisi Gong Kebyar Se-Bali.
Walau dengan langkah tertatih memasuki panggung, I Wayan Suweca (72 tahun), misalnya, yang dikenal masyur sebagai maestro penabuh kendang, berhasil memukau penonton saat menabuh dan berkecipak mengiringi tari. Malam itu, bersama penabuh dan penari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Suweca yang berasal dari Banjar Kayumas Kaja, Denpasar, ini memangku kendang memainkan Tabuh Kebyar Dang Cita Utsawa dan mengiringi tari Tarunajaya–tari kebyar karya salah satu gurunya, I Gede Manik, dari Desa Jagaraga, Buleleng. Saat unjuk tabuh, ditimpali oleh seorang penabuh cengceng, I Wayan Budana (62 tahun), yang bermain kocak, Wayan Suweca sungguh masih mampu memamerkan taksu-nya. Bahasa tubuhnya yang karismatik, gerakan kedua lambaian tangannya dengan kejelimetan permainan kendangnya, mengundang decak kagum penonton. Demikian pula saat merespon bagian ngipuk tari Tarunajaya, keceriaan berbinar terpancar dari rona seniman yang telah melanglang buana mengharumkan Bali (Indonesia) itu.
Para seniman sepuh Bali masih setia berperan secara tulus meneruskan keberlanjutan jagat kesenian Bali. Kendati menjalani kodrati usia lanjut, bila didaulat tampil menabuh, menari, atau mendalang misalnya, deru gelora hati mereka seketika melonjak. Demikian pula dalam mewariskan keperigelan, pengalaman dan ilmu seninya, mereka dengan senang hati memperagakannya. Karena itu, untuk keperluan penggalian seni atau penelitian ilmiah karya tulis, para empu seni Bali bersumbangsih penting dan banyak dituju oleh kreator muda dan para peneliti. Wayan Suweca masih menerima dengan tangan terbuka generasi muda dalam unjuk piawai menabuh kendang, selain juga ada yang datang berguru menabuh gender wayang—seni karawitan Bali yang juga menjadi spesialisasinya.
Gamelan Bali yang kini mendunia, jejak-jejaknya ditapaki oleh para seniman yang sebagian besar telah berpulang, dan sebagian lagi kini masih meniti usia tua namun masih setia menyuntuki dunia seninya. Kembali kepada Wayan Suweca, dimana sejak muda, tahun 1978, telah menularkan seni karawitan di luar negeri, dimulai dari Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu ia berhasil mengibarkan gamelan dan tari Bali dengan mendirikan sekaa yang beranggotakan praktisi seni warga negeri itu diberi nama grup Sekar Jaya. Sejak itu, entah ada kaitannya dengan grup gamelan yang dirintis Suweca tersebut, yang jelas dari penjuru dunia menguak grup-grup gamelan Bali, baik dari berbagai kota di Amerika sendiri, maupun dari sejumlah negara di Eropa, Asia, dan Australia. Jepang termasuk kawasan yang begitu pesat bertumbuh menjalarnya gamelan Bali, dari Gong Kebyar hingga Jegog.
Bertumbuhkembangnya gamelan dan tari Bali di mancanegara di tahun 1970-an, membuka kesempatan bagi para seniman Bali berkiprah di penjuru dunia. “Saya merasa punya makna hidup sebagai tukang gambel memperkenalkan gamelan dan tari Bali di Amerika,” ujar Suweca, seusai pementasan Gong Kebyar Legendaris di Taman Budaya Bali, Senin, 20 Juni. Walaupun menghadapi banyak rintangan, ungkapnya, tapi kenangan indah mengharumkan Bali di negeri orang adalah pengalaman berkesenian yang patut diceritakan kepada pegiat seni generasi muda sekarang.
Seniman sepuh adalah aset insani budaya yang merupakan simpul kesimbungan jagat kesenian Bali. Betapa signifikannya makna dan kontribusi para empu seni dapat disimak pada bidang seni pertunjukan tradisi karawitan, tari, dan seni pedalangan. Kesadaran akan hal itu, telah dilakoni Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali, sejak tahun 1970-an dengan mendaulat penuh respek para maestro seni yang telah sepuh, mengayunkan langkah-langkah konstruktif-strategis merekonstruksi, merevitalisasi, mereaktualisasi beberapa kesenian klasik langka yang hampir punah. Kini sejumlah seni pertunjukan yang dulu sempat sekarat tersebut, seperti Gambuh, Wayang Wong, Legong dan lain-lainnya dapat disaksikan generasi masa kini di arena PKB dan di lingkungan komunitasnya masing-masing.
Syukur dan sungguh terpuji, sikap keteladanan dan keterbukaan tokoh-tokoh seni saat menjalani usia senjanya, secara umum menunjukkan kepatutan budi dan moral yang membinarkan inspirasi dan karena itu sudah sepantasnya diacu sebagai panutan oleh generasi penerusnya. Menurut Wayan Suweca, bahwasannya kodrati menua tak kuasa ditolak. Sebagai seniman yang pernah berjaya di usia muda, tambahnya, ia sudah mengecapnya. “Kini adalah milik pegiat seni generasi muda, anak zaman, yang harus kita dorong untuk merengkuh kemajuan. Para seniman yang sudah sepuh seperti saya, perlu meniru pohon kelapa meningggalkan buah yang bersemai untuk bertumbuh, seperti juga pohon pisang yang meninggalkan anaknya dan pohon bambu yang meninggalkan tunasnya,” ungkap Suweca memaparkan filosofi hidupnya terkait dengan kontinuitas dunia seni pertunjukan Bali. Rupanya–seperti yang ditegaskan I Wayan Suweca–para seniman sepuh Bali, tidak terjangkit post power syndrome karena sadar terhadap kearifan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar