Label-label harga terlihat saat seorang wanita berbelanja di pasar lokal di Nice, Prancis, 7 Juni 2022. (BP/Ant)

NEW YORK, BALIPOST.com – Inflasi yang sangat tinggi dengan risiko semakin tidak terkendali, memaksa bank -bank sentral di seluruh dunia berjuang keras menyesuaikan diri. Mereka memaksa tindakan kebijakan yang lebih kuat dengan menaikkan suku bunga secara agresif yang meningkatkan risiko resesi global.

Investor di Amerika Serikat sudah memperdebatkan apakah Federal Reserve sekarang perlu memberikan kenaikan suku bunga 100 basis poin yang sangat besar, terbesar sejak 1980-an, pada pertemuan mendatang pada 26-27 Juli setelah pembacaan inflasi yang mengerikan pada Rabu (13/7), menunjukkan tekanan harga meluas dan berakselerasi ke level tertinggi lebih dari 40 tahun.

Pada Kamis (14/7), data pemerintah menunjukkan harga produsen AS meningkat lebih dari yang diperkirakan pada Juni di tengah kenaikan biaya untuk produk energi. Inflasi yang kuat dan meluas di tempat lain dengan latar belakang dorongan dari permintaan yang kuat, rantai pasokan yang terganggu oleh pandemi COVID-19 dan gaung pada pasokan makanan dan energi global dari invasi Rusia ke Ukraina, juga menyebabkan bank sentral lain mengambil tindakan besarnya tidak terpikirkan beberapa bulan yang lalu.

Baca juga:  Rokok Menjadi Biang Kerok Masalah Multidimensional

Bank Sentral Kanada pada Rabu (13/7/2022) menaikkan suku bunga pinjaman overnight sebesar 100 basis poin dalam upayanya untuk meredam inflasi, mengejutkan pasar dan menjadi negara G7 pertama yang melakukan kenaikan agresif dalam siklus ekonomi ini.

Bank Sentral Kanada menaikkan suku bunga kebijakan menjadi 2,5 persen dari 1,5 persen, kenaikan suku bunga terbesar dalam 24 tahun, dan mengatakan kenaikan lebih lanjut akan diperlukan.

Langkah itu dengan cepat diikuti pada Kamis (14/7/2022) oleh bank sentral Filipina, yang mengejutkan dengan kenaikan di luar siklus 75 basis poin, sementara bank sentral Singapura juga memperketat kebijakan moneternya dalam langkah di luar siklus. Semua mata sekarang tertuju pada bagaimana bank-bank sentral G7 utama lainnya mengatasi prospek yang memburuk.

Komisi Eropa memangkas perkiraan untuk pertumbuhan ekonomi di zona euro untuk tahun ini dan berikutnya serta merevisi perkiraan inflasi pada Kamis (14/7/2022) sebagian besar karena dampak perang di Ukraina.

Baca juga:  Kembali Raih WTP, Gubernur Koster Tegaskan Komitmen WTP Berkualitas dan Esensial Untuk Masyarakat

Komisi sekarang memperkirakan inflasi akan mencapai puncaknya pada 7,6 persen sebelum jatuh ke 4,0 persen pada tahun 2023. Pada Mei, Komisi telah memperkirakan harga di zona euro akan naik 6,1 persen tahun ini dan 2,7 persen pada tahun 2023.

Bank Sentral Eropa (ECB) berdiri di samping bank sentral Jepang sebagai dua bank sentral ekonomi maju sejauh ini tidak menanggapi inflasi dengan kenaikan suku bunga. Untuk ECB, setidaknya, yang tampaknya akan berubah minggu depan, dengan pejabat di sana diposisikan untuk menaikkan suku bunga kebijakan mereka sebesar 25 basis poin dalam kenaikan pertama mereka sejak 2011. Peningkatan lain diperkirakan pada September.

Sementara itu, di Inggris investor pada Kamis (14/7/2022) memperkirakan peluang sekitar 83 persen bagi bank sentral Inggris mengumumkan kenaikan setengah poin yang jarang terjadi pada pertemuan kebijakan berikutnya pada 4 Agustus.

Di Swedia, data pada Kamis (14/7/2022) menunjukkan inflasi tahunan tertinggi sejak 1991, jauh di atas perkiraan bank sentral dan menyebabkan investor bertaruh akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang direncanakan, termasuk pergerakan 75 basis poin pada September.

Baca juga:  Kuartal Pertama, BNI Raih Laba Rp 3,66 Triliun

Di Amerika Serikat, setidaknya ada beberapa indikasi bahwa pendorong besar kenaikan inflasi terbaru, yakni biaya makanan dan energi, sudah agak mereda. Harga bensin, misalnya, telah turun lebih dari 8,0 persen pada bulan lalu dan beberapa tekanan harga pangan juga berkurang.

“Beberapa bahan yang kami beli mulai moderat dalam hal tingkat inflasi,” Sean Connolly, kepala eksekutif Conagra Brands Inc, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada Kamis (14/7). “Beberapa diperkirakan akan menunjukkan deflasi di tahun depan. Harga gandum, minyak kedelai, bahkan solar dalam periode terakhir telah turun dari harga beberapa bulan yang lalu,” kata Connolly, yang perusahaannya membuat makanan kemasan seperti makanan beku Marie Callender, dikutip dari Kantor Berita Antara, Jumat (15/7). (Kmb/Balipost)

BAGIKAN