Oleh Marjono
Indonesia itu punya segalanya. Orang miskin punya banyak, tapi kita juga sarat orang kaya dengan harta berlimpah.
Sampai-sampai mereka ini bingung menyalurkannya. Saking sibuknya orang borju dengan segenap uangnya ini acap mempercayakan zakat, infak, sodakoh maupun bantuan sosial kemanusiaannya kepada lembaga-lembaga pilantopis.
Kadang ada yang lebih memilih pada institusi pilantropis lokal, nasional bahkan internasional dengan semua pertimbangan dan plus minusnya. Ataupun memilih lembaga pilantropis partikelir tertentu maupun disalurkan secara langsung dari tangannya.
Kusutnya kasus yang menimpa lembaga pilantropis ACT (aksi cepat tanggap) tentu saja telah mencoreng marwah lembaga pilantropis berlabel sosial kemanusiaan yang kerap diumbar dalam segala agenda-agenda besarnya. ACT diduga telah melakukan pengumpulan dana masyarakat dan penggunaannya kadang bertabrakan dengan naluri publik. Misalnya, dana bantuan diambil sekian persen untuk menggaji manajemen dan karyawannya, atau diduga lagi, sebagian aliran bantuannya mengarah ke kelompok teroris tertentu.
Tentu saja praktik ini jauh dari harapan masyarakat. Masyarakat pinginnya dana yang percayakan kepada lembaga tersebut sesuai jalurnya dan menyalakan kemanusiaan sejati, tapi apa jadinya kala dana-dana yang terkumpul dimanfaatkan petinggi lembaga pilantroipis itu pada sasaran yang tidak semestinya.
Tindakan pencabutan izin operasional ACT oleh pemerintah menjadi lonceng kematian bagi jajaran ACT pusat hingga daerah. Suka tak suka, kasus ACT
membawa masyarakat berpikir ulang, kala akan
menyerahkan kembali dana mereka ke lembaga
pilantropis meski bersakala global dengan manajemen orang-orang yang top di negeri ini.
Mungkin, para donator akan lebih memberikan
kepercayaan kepada lembaga pilantropis milik
pemerintah, sebut saja Baznas. Lembaga pilantropis plat merah ini ke depan bisa menjadi lembaga
alternatif dalam perspektif sosial kemanusiaan di
negeri ini.
Gaji para pegawainya pun juga masih dalam skala wajar dan anti mengalirkan dana bagi rekening terduga teroris. Maka kemudian, budaya antikorupsi, gratifikasi dan pungli dipandang masih relevan disodorkan dalam relasi kasus ACTndengan praktik kelamnya.
Budaya ini jauh akan lebih efektif ketika pimpinan selalu memberikan teladan bagi penegakkan menyelamatkan uang negara maupun uang masyarakat. Kampanye, sosialisasi, sekolah, seminar banyak berjejalan di kampus, di lembaga pemerintah, di lembaga penghimpun dana rakyat, di NGO, deklarasi di level pusat hingga ujung desa.
Ujung-ujungnya, kita hanya bisa berucap lirih atau sekurangnya membentangkan spanduk doa di atas bencana (baca: penyelewengan dana masyarakat).
Karena, sudah berapa puluh tahun pemberantasan praktik penyimpagan dana masyarakat ini masih saja berseliweran di mana-mana.
Sudah saatnya lembaga pilantropis mengevaluasi diri, meralat diri atas beragam capaian prestasinya untuk menjadi lebih baik dan semakin dicari masyarakat bahkan rakyat semakin merasa memiliki atas kelembagaan tersebut. Dalam hemat saya, nawaitu mendirikan lembaga pilantriopis baik, tapi ketika terselip tujuan lain yang memeras, menindih dan culas, maka tak ada tempat terhormat baginya.
Karena sejatinya, pemilik program dan amanat itu ada di tangan rakyat, bukan pada orang perorang pimpinan dan pegawai di dalam lembaga tersebut.
Sudah saatnya seluruh lembaga pilantropis mewakafkan dirinya bagi sosial kemanusiaan
Indonesia.
Bukan memunggungi apalagi menguras dana sosial kemanusiaan. Kapan lembaga pilantropis berani menggaji pegawainya, di luar atau bukan dari hasil perhimpunan dana bantuan masyarakat. Itulah kemudian, kasus ACT harus menjadi kopi pahit praktik
seluruh lembaga pilantropis.
Permenungan ya penyadaran pemikiran kita semua. Masihkah kita percayakan penyaluran dana kemanusiaan kepada mereka, masihkah layak lembaga pilantropis itu kita berikan kesempatan kedua.
Sadarlah wahai lembaga pilantropis, karena pimpinan dan segenap jajarannya dihidupi atas dana masyarakat. Bukan dana personal yang banyak diklaim berasal dari uang pribadi atau keluarga.
Semoga kasus ACT membawa transformasi dan terjadi empowering dari dalam lembaga. Pohon Jati akan mati karena digerogoti hama atau virus akut dari dalam. Hidup matinya lembaga pilantropis akan dinilai oleh masyarakat. Salah satu indikator keberhasilan lembaga pilantropis adalah bukan seberapa panjang
usia lembaga tersebut, tapi lebih pada seberapa
bermanfaat kiprahnya bagi masyarakat.
Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng