Oleh Dewa Gde Satrya
Promo minuman beralkohol yang berbuntut pada penutupan sejumlah gerai salah satu pub di Tanah Air patut menjadi pembelajaran untuk pelaku usaha dan konsumen nightlife. Di satu sisi kontribusi hiburan malam dalam perekonomian sangat besar, menjadi bagian dari leisure and tourism business, di sisi lain ada batasan-batasan yang secara tegas harus diindahkan. Melalui keseimbangan itu, niscaya kepentingan ekonomi dari masyarakat yang bekerja dan berusaha di hiburan malam akan lestari, pemerintah memperoleh pajak, segmen pasar yang bertanggung jawab akan terlayani kebutuhannya.
Perilaku bertanggung jawab di kalangan konsumen nightlife harus dipastikan. Mengingat sejumlah bahaya atau kerawanan kerap timbul dari sektor hiburan malam ini. Salah satu contohnya adalah ulah iseng dan membahayakan yang dilakukan pengunjung salah satu pub di Surabaya beberapa tahun lalu membakar sofa yang berbuntut pada kebakaran di tempat wisata malam di Surabaya. Tragisnya, saat ini ada puluhan jiwa yang meninggal dunia.
Hiburan malam melekat dalam atraksi wisata suatu destinasi wisata. Aktivitas bersenang-senang di malam hari telah menjadi pilihan yang menarik orang untuk datang. Wisata malam menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Parahnya, kerap kali anggapan publik atas wisata malamhanya sebatas hedonisme. Padahal, ada sisi positif dari kegiatan ekonomi di malam hari ini.
Hiburan umum menjadi salah satu penyumbang pajak yang signifikan bagi daerah, setelah hotel dan restoran. Surabaya misalnya, pajak PP1 Surabaya meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Beberapa tahun lalu total penerimaan pajak PP1 sebesar Rp119.724.296.759 (terdiri dari Rp55.047.165.139 dari hotel, Rp53.161.824.602 dari restoran dan Rp11.515.307.018 dari hiburan). Tahun 2006 meningkat menjadi Rp141.263.440.370 (terdiri dari Rp63.439.966.812 dari hotel, Rp63.433.934.223 dari restoran, dan Rp14.389.539.335 dari hiburan). Tahun 2007 naik menjadi Rp159.122.701.664 (terdiri dari Rp72.134.918.062 dari hotel, Rp70.991.797.036 dari restoran, dan Rp15.995.986.566 dari hiburan). Pada tahun 2008, meningkat secara signifikan menjadi Rp192.679.950.340 (terdiri dari Rp88.256.980.350 dari hotel, Rp83.845.438.656 dari restoran, dan Rp20.577.531.334 dari hiburan).
Tidak semua penikmat (konsumen) dan pekerja wisata malam adalah kaum hedonis yang dekat dengan dunia kemaksiatan atau kriminalitas. Banyak orang memilih bepergian dan bersenang-senang di malam hari untuk mencari inspirasi, menggali ide-ide kreatif, dan motif-motif produktif lainnya. Pun pula, ada banyak alasan mengapa orang memilih berprofesi bekerja di dunia malam. Pekerjaan-pekerjaan di dunia malam pun tidak seluruhnya hanya mengumbar hedonisme. Banyak pekerjaan yang mensyaratkan kreativitas, kerja keras, daya juang dan hal-hal lainnya yang melekat dari pekerjaan di malam hari.
Integritas
Di pihak pengelola dan pelaku usaha hiburan malam perlu memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga nilai-nilai, norma dan menerapkan peraturan yang berlaku di daerah masing-masing. Melanggar etika agama, aturan tata susila, kepantasan dan nilai-nilai kemanusiaan universal, hanya akan menjadikan bisnis hiburan malam tidak lestari. Salah satu pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menjaga dan memastikan operasional bisnis nightlife dijalankan secara berintegritas adalah definisi American Marketing Association, bahwa pemasar (pebisnis) harus menegakkan dan mengedepankan integritas, kehormatan, dan martabat profesi marketing dengan cara jujur dalam melayani konsumen, klien, pegawai, pemasok, distributor dan masyarakat. Definisi ini menggambarkan tanggung jawab pada setiap komponen “marketing mix”. Dalam hal produk misalnya, marketer memiliki tanggung jawab untuk memastikan keamanan produk, mengungkapkan semua product risk, dan mengidentifikasi segala faktor yang mungkin mengubah penampilan produk.
Dalam periklanan, juga demikian, kode etik mengatakan marketer harus menghindari komunikasi yang bersifat menipu dan menyesatkan, penggunaan high pressure sales, dan praktik manipulasi konsumen. Dalam distribusi, supplier tidak boleh memaksa agen untuk mengambil produk yang tidak diinginkan, dan tidak boleh menciptakan kelangkaan untuk melejitkan harga produk mereka. Sedang dalam soal harga, kode etik melarang marketer untuk menerapkan “predatory pricing” dan harus mengungkapkan sepenuhnya harga yang berhubungan dengan layanan, pemasangan, pengiriman barang (Marketing, September 2005: 27).
Berkebalikan dengan setiap prinsip kode etik tersebut, merupakan praktek bisnis yang tidak etis. Setiap kehendak dan praktek memanipulasi konsumen untuk membeli produk dan memberikan layanan purna jual yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, menggunakan pendekatan yang tidak mengindahkan nilai, norma dan peraturan yang berlaku dalam periklanan, pendekatan high presure manakala konsumen dianggap merugikan operasi bisnis perusahaan, dan ketidaktransparanan dalam mengungkapkan product risk, merupakan hal yang harus dihindari oleh setiap pelaku usaha.
Menegakkan integritas dalam operasional bisnis hiburan malam terkesan sulit, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Di dalamnya mencakup kepemilikan keutamaan (nilai-nilai luhur) sebagai manusia berkepribadian unggul. Keutamaan didefinisikan sebagai disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkannya bertingkah laku baik secara moral. Di antara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut antara lain, kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan. Keutamaan tidak boleh dibatasi pada taraf pribadi saja, tetapi selalu harus ditempatkan dalam konteks komuniter. Karena itu seseorang adalah orang yang baik jika memiliki keutamaan, hidup yang baik adalah virtuous life: hidup yang berkeutamaan (Bertens, 2000). Kiranya memulihkan kepercayaan publik akan peran dan kontribusi positif bisnis hiburan malam membutuhkan kerjasama dan peran aktif dari konsumen dan pelaku usaha yang terkait untuk memiliki sikap arif, bijaksana dan bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan di masyarakat. Hanya dengan cara itu hiburan malam akan dapat dilihat kontribusinya di kehidupan.
Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya