Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Nasi sudah menjadi bubur dan sesal selalu datang terlambat. Itulah ungkapan yang acap menggema kala kita dihadapkan atas problematik yang cukup menguras urat malu kita. Di bangku-bangku panjang sekolah acap kita saksikan anak-anak yang murung, karena menjadi korban kekerasan seksual, bahkan melahirkan anak kala usia mereka pun masih dianggap bau kencur maupun dinilai di bawah umur. Kenestapaan anak-anak yang mulang sarak (kurang ajar) ini tak hanya hinggap di kota-kota besar, tapi sudah menjangkau aras pedesaan pula.

Penduduk usia remaja (10-19) pada tahun 2016 mencapai 1.2 miliar dan di proyeksikan akan terus meningkat. Secara global sekitar 16 juta wanita berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya (UNFPA, 2016) and meningkat menjadi 19 juta per tahun nya di tahun 2035 (MI, 26/2/2022). Kasus anak yang melahirkan bayi di beberapa daerah beberapa waktu lalu, seperti kasus siswi SMK Sragen Jateng yang melahirkan bayi, kemudian pelajar perempuan sekolah Madrasah Aliyah di Bireuen Aceh melahirkan di sekolah, atau perempuan SMA Wonogiri Jateng melahirkan anak saat sekolah online, jauh sebelumnya pelajar di Bali ditangkap karena membuang bayi hingga mayatnya diseret biawak, dan sebagainya telah menjadi basis data bagi anak-anak yang malang yang harus kita selamatkan.

Jelas, catatan dan data muram di atas membuat kita ngelus dada dan prihatin. Kepedihan tersebut jelas menjadi pukulan berat bahkan telak bagi orangtua, sekolah dan pemuka lainnya. Institusi pendidikan kerap dicap gagal menjalankan core bisnisnya ataupun perlindungan anak di daerah tak jarang disebut-sebut tidak berjalan.

Baca juga:  Realita MBKM

Menyikapi potret kusam di atas, dari kacamata awam penulis mencoba ikut urun rembuk atas rerupa penyokong dan barangkali sepenggal jalan keluar untuk mengurai dekap pilu yang bertubi. Salah satunya adalah soalan minimnya pendidikan seks dan reproduksi. Bagaimana memberikan edukasi seks yang baik sesuai perkembangan anak dan dibarengi bahasa yang tepat. Begitu juga bagaimana bahaya seks bebas dan dampaknya. Pun, perlu kita pasok anak-anak kita tentang bagaimana menjaga kesehatan reproduksi, terutama bagi anak-anak perempuan, sehingga anak-anak kita punya pengetahuan dan sikap bahkan hingga perilaku yang mendukung atas mencegah pernikahan anak atau menjadi remaja idola kini dan masa depan, dll.

Hal ini bisa saja diperburuk oleh Orangtua yang masa bodoh atau bisa jadi ada semacam kelonggaran (afirmasi). Maka kemudian, ketika anak-anak yang malang ini ibarat anak polah bopo kepradah, seperti kasus-kasus kelam di atas. Pada aras demikian, orang tua atau keluarga sudah seharusnya memperhatikan atas perubahan fisik dan perilaku anak-anaknya, maka dimungkinkan kecelakaan buruk itu dapat ditepiskan. Untuk mencegah hal kusa mini, anak-anak perlu kita libatkan pada aneka aktifitas positif, untuk memperkecil risiko lebih jauh bahkan praktik ekonomi underground.

Baca juga:  Mengembalikan Wajah Cerah Praktek Pendidikan

Pada ujung lain, yaitu rendahnya internalisasi nilai agama juga bisa ikut andil atas masifnya kasus yang memalukan itu. Mereka ini barangkali sedang mengalami kebangkrutan dalam mencecap dan memaknai nilai agama yang dianut. Sehingga itulah kemudian, penting bagi keluarga dan lingkungan untuk mengembalikan mereka pada nilai-nilai agama yang barangkali mulai luntur. Pemicu lain yang menganga adalah problema gaya hidup hippies. Mereka ini lebih mengagungkan kesenangan, hura-hura, orientasi hanya happy dan happy. Lain tidak. Mereka ini tak pernah berpikir atas risiko dan bahaya melakukan intimitas seks tanpa pernikahan.

Beberapa kasus murung di atas dialami anak-anak sekolah yang disebut belum dewasa, karena sesuai UU Perkawinan, mereka belum genap usia 19 tahun. Pada titik usia itulah syarat laki-laki dan perempuan bisa melangsungkan pernikahan secara negara. Menimbang beragam penyebab menyeruaknya kasus-kasus kusut di atas, maka kemudian tindakan pertama dan utama adalah menyelamatkan ibu dan anak yang bersangkutan.

Hal urgen dan baku adalah dilatih bagaimana merawat anak, termasuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya ataupun penyiapan makanan bergizi bagi bayinya sehingga tak terpapar tengkes (stunting). Aatau sekurangnyam, anak sekolah yang melahirkan bayi ini mesti mampu memainkan diri sebagai mini ICU berjalan meski dalam skala super sederhana.

Baca juga:  LPD Cermin Pemajuan Kebudayaan Bali

Jaminan Pendidikan

Pada saat anak-anak secara fisik dan psikologis atau mental sebetulnya belum siap mengandung atau melahirkan anak, maka saat seperti itulah ada hal penting yang mesti diperhatikan dan harus dijamin pemangku kepentingan, yaitu bagaimana anak beroleh cuti melahirkan dari sekolah, sehingga mereka ada garansi bisa melanjutkan pendidikan atau sekolahnya secara tuntas, tak ada ancaman, tekanan, tanpa bullying dan kekerasan lainnya, termasuk kekerasan verbal sekalipun.

Selain itu, sekolah menggelar tes kehamilan bagi semua siswa perempuan. langkah prevensi ini diambil sebagai bentuk antisipasi dini, sehingga institusi pendidikan tak kecolongan. Hal lain yang dapat ditempuh, yakni mengintensifkan home visit. Itulah mengapa, penting bagi kita, termasuk keluarga, sekolah dan elit masyarakat tak henti memberikan motivasi kepada anak yang terseret kasus tersebut untuk tetap bersemangat, berpengharapan, bersenyum tanpa berair mata.

Menanamkan kepada anak soal integritas dan martabat. Karena bagaimananpun, melakukan seks apalagi usia pelajar sangat bertentangan dengan agama dan budaya bangsa. Suplemen lain yang dibutuhkan, yakni pelatihan entrepreneur, bisnis/marketing online ataupun startup, seperti pelatihan rintisan usaha ekonomi produktif sesuai peminatan dan potensi, pelatihan IT dan  bahasa asing, dan sebagainya sehingga mereka bisa mandiri, tak gagap mengelola masa depannya.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN