Oleh I Gusti Ketut Widana
Melalui Surat Edaran Nomor 04 atahun 2022 tentang Tata Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru, Gubernur Bali, Wayan Koster, mencanangkan Rahina Tumpek Krulut sebagai perayaan Hari Tresna Asih atau Hari Kasih Sayang. Sekaligus mengimbau kepada seluruh masyarakat Bali agar melaksanakan perayaan Rahina Tumpek Krulut pada Sabtu, 23 Juli 2022 secara niskala dan sekala.
“Selama ini, sejumlah masyarakat Bali merayakan Valentine’s Day setiap tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang, yang sesungguhnya bukan merupakan budaya Bali. Sudah waktunya kita melaksanakan hari Tresna Asih/hari kasih sayang pada setiap rahina Tumpek Krulut, sebagai warisan adiluhung dari leluhur, yang sepatutnya dilestarikan, disosialisasikan, dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat Bali,” kata Gubernur Koster (BP, 9/2).
Permasalahannya, dengan cara apa dan bagaimana melaksanakan hari kasih sayang ala Bali ini, baik secara niskala maupun sekala. Sebab secara niskala, selama ini sudah berjalan ritual Tumpek Krulut sebagai bentuk penghormatan kepada Hyang Iswara (Dewa Kesenian) dengan melaksanakan penyucian terhadap instrumen gamelan, disebut “ngotonin gong”.
Di Kota Denpasar sendiri beberapa kali pernah dilakukan prosesi rahina Tumpek Krulut massal, sekalian dipentaskan beberapa aneka rupa, jenis dan bentuk kesenian Bali di Lapangan Puputan Badung. Kini muncul gagasan teranyar melaluism surat edaran Gubernur Bali di atas dicanangkan sebagai Hari Kasih Sayang (Tresna Asih), dimaksudkan mendekonstruksi Valentine’s day yang realitanya lebih digandrungi dan dirayakan generasi mileneal Bali (Hindu) setiap 14 Februari.
Kini ada dua versi terkait Tumpek Krulut, yang jika dicermati justru menunjukkan sisi ambigu. Pertama, jika dilaksanakan dalam bentuk ritual “ngotonin gong”, sebagai representasi kesenian melahirkan rasa estetis dalam bentuk ekspresi “ngelangenin” (berasal dari kata “lango” (Jawa Kuno); langen/klangen (Bali), artinya sesuatu yang membuat siapa saja merasakan
takjub/kagum atas resapan perasaan keindahan yang merasuk hingga ke sukma terdalam.
Lebih mendalam lagi bisa dibaca dan disimak karya sastra “Kalangwan” oleh P.J Zoetmulder (terjemahan Dick Hartoko, 1983).
Kedua, kalau Tumpek Krulut dicanangkan sebagai Hari Kasih Sayang, dengan asumsi berasal dari kata “lulut” (= tresna asih), dapat saja secara konotatif menimbulkan deviasi (penyimpangan) makna, bahkan bisa “ngelabui” rasa. Mengelabui rasa tresna asih atau kasih sayang yang semula murni “ngelangenin” akan keindahannya, lalu berkembang dan terjebak kedalam “kresna asih”– kasih sayang dalam kegelapan cinta (kresna = gelap).
Pelaksanaannya, setali tiga uang dengan perayaan Valentine’s day yang acapkali diwarnai aktivitas mengarah sensasi dan hedoni beraroma sensualitas atau seksualitas. Padahal, hakikat ritual Tumpek Krulut sejatinya adalah sebagai bagian keyakinan (Sraddha) umat Hindu yang diharapkan menjadi media “ngilitang lulut” (tresna asih), menjalin rasa kasih sayang, atas dasar cinta (sakral), tidak saja dalam ranah kognitif (pengetahuan), dan afektif (sikap), lebih penting lagi terealisasi dalam kancah psikomotorik, tercermin melalui perilaku murni, tulus ikhlas mengasihi, menyayangi dan mencintai sesama dalam segala bentuk dan aksi nyata.
Jadi, makna “ngilitang lulut” ini jangan sampai mengarah dalam bentuk “pengelabuan” rasa kasih sayang dan cinta semisal melalui sensasi fantasi “nglilitang batis papat” beraroma seksualitas, sebagaimana acapkali ditengarai dipraktikkan kawula muda zaman now saat perayaan Valentine’s day.
Ini yang penting dijaga jika ritual Tumpek Krulut diberi label baru sebagai Hari Kasih Sayang, agar tidak “sere panggang sere tunu” (sama saja) dengan euforia perayaan Valentine’s days. Karena itu, pencanangan rahina Tumpek Krulut sebagai Hari Kasih Sayang penting dijabarkan pelaksanaannya secara sekala.
Caranya bagaimana, tiada lain dengan menumbuhsuburkan rasa kasih sayang untuk kemudian dikembangkan dan dilaksanakan dalam berbagai bentuk aneka aksi mengarah pada dimensi humanity dalam frame harmony in Diversity. Bahwa hakikat keindahan kasih sayang itu adalah ketika terjalinnya hubungan antarmanusia dengan segala perbedaannya dalam satu irama langkah kebersamaan, kekeluargaan, persahabatan, menuju kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Inilah kesejatian makna rahina Tumpek Krulut sebagai media ritual “ngilitang lulut” — ngulati sane patut, mewujudkan rasa kasih sayang dalam keseharian demi menjadikan hidup dan kehidupan ini semakin indah –ngelangenin.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar