IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Siapa pun yang menjadi calon Presiden Indonesia untuk Pemilu 2024, Bali tetaplah Bali! Ketika gonjang-ganjing soal kepemimpinan nasional terus bergelombang, bahkan semakin menguat dari hari ke hari, Bali sebagai salah satu entitas Indonesia harus bak batu karang. Tegak dan mampu bermain dengan arus.

Jauh sebelum zaman pra-kolonial, Bali telah tumbuh dan berkembang dengan keunikannya sendiri. Dan dalam puluhan dekade Bali tidak saja telah mengalami nasionalisasi, bahkan lebih jauh berupa internasionalisasi. Sehingga akan amat menyedihkan jika rakyat Bali menjadi terkotak-kotak karena ragam isu, yang belum tentu berhubungan langsung dengan kebutuhan riil dari waktu ke waktu.

Dalam alam demokrasi, gelombang politik adalah hal biasa, apalagi menjelang suksesi kepemimpinan nasional. Demikian pula dengan potensi keterbelahan sosial. Partai-partai diadakan adalah karena terdapat ragam pemikiran dan keinginan, ragam kelompok sosial dan latar belakang. Namun mengatasi pemikiran dan kepentingan perorangan atau golongan, cita-cita rakyat banyak—harapan-harapan bersama—haruslah di tempat utama.

Dalam pandangan saya, paling kurang terdapat tiga sentimentalitas yang harus dijadikan pegangan oleh rakyat Bali di mana pun berada: anugerah kultural, nasionalisme dan kosmopolitanisme. Dengan tiga sentimentalitas ini, siapa pun calon pemimpin nasional, orang Bali akan mampu tegak bak batu karang, memilih calon pemimpin nasional terbaik.

Baca juga:  Era Baru Pengembangan Profesi Guru

Budaya adalah salah satu aset terbesar Bali, selain alam. Dasar dari budaya adalah nilai-nilai, yang merupakan pranata sosial yang memungkinkan orang-orang hidup secara harmonis dalam satu komunitas. Nilai-nilai direpresentasi ke dalam simbol-simbol, seperti artefak, rupa kasat mata yang bisa dinikmati oleh bahkan mereka yang bukan orang Bali.

Penyesuaian budaya, dalam arti adaptasi, mungkin saja terjadi, misalnya karena pengaruh modernisasi. Namun wajib diingat bahwa ketika budaya berubah menjadi sekadar gimmick, atau barang dagangan, tidak lagi dihayati sebagai jalan hidup, maka secara perlahan ia akan mati suri, kehilangan jiwa.

Rakyat Bali—di mana para tokoh masyarakat menjadi teladan sekaligus corong—harus berpegang pada nilai-nilai kultural terkait sikap mengenai kepemimpinan nasional. Bukan pada warna partai atau siapa pemimpinnya. Siapa pun calonnya, jika sesuai dengan nilai-nilai kultural Bali, maka itulah pilihan terbaik!

Baca juga:  Gerak Jalan: Nasionalisme Versus Ketertiban Lalu Lintas

Model ketatanegaraan dan pemerintahan terbaik, di antara pilihan yang tersedia, adalah demokrasi. Negara-negara yang mengalami kemajuan demokrasi juga mengalami kemajuan dalam bidang lainnya. Demikian pula sebaliknya, kemunduran demokrasi akan berdampak pada kemunduran ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Demokrasi juga telah menjadi alat dan wadah bagi nasionalisme Indonesia. Demokrasi memungkinkan kebhinekaan, memberi tempat hidup bagi ragam keyakinan, budaya dan golongan. Nasionalisme Indonesia bukan hanya atas dasar satu suku bangsa, satu agama, atau satu ras.

Rakyat Bali adalah entitas tersendiri, yang tergabung dalam pelangi bernama Indonesia. Sehingga pilihan politik, dalam hal ini kepemimpinan nasional, haruslah yang tegak kokoh memperjuangkan nasionalisme pelangi ini. Rakyat Bali tidak boleh memilih calon yang tega menempuh jalan sesat politik, yang berani mengorbankan kebhinekaan demi kekuasaan.

Dalam hal ini, supaya tidak salah sangka, kosmopolitanisme di sini hendaklah dipahami sederhana saja. Bali sudah mengalami internasionalisasi, dikenal di berbagai pelosok dunia, dan menjadi tujuan wisata dari manca negara. Sementara itu, masyarakatnya sudah terbiasa berelasi dengan ragam orang dengan ragam latar belakang.

Baca juga:  Salam Agama Itu Doa Kebaikan

Alhasil, telah kokoh nilai-nilai universal tertentu, asumsi-asumsi berpikir dan memandang serta cara-cara bersikap dan bertindak yang kosmopolitan. Hal ini belum tentu terdapat di semua daerah di Indonesia, apalagi jika pemerintah atau masyarakat di daerah tersebut berpikir dan bersikap eksklusif.

Kosmopolitanisme adalah modal bagi kemajuan dan kesejahteraan sosial. Ketika rakyat Bali telah sampai pada sikap memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat dunia, maka ruang gerak dengan sendirinya menjadi luas. Peluang bagi dinamika sosial menjadi terbuka lebar, bahkan bagi gerak ekonomi.

Menyikapi dinamika nominasi pemimpin nasional, rakyat Bali wajib cermat menilai calon yang kosmopolitan. Calon pemimpin yang tak diterima dunia ramai, yang berpeluang menciderai kosmopolitanisme amat berbahaya bagi dinamika sosio-kultural Bali. Apalagi di zaman di mana perekonomian menjadi semakin terbuka dan jejaring internasional menjadi kunci bagi pertumbuhan.

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem dan Anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem

BAGIKAN