SEMARAPURA, BALIPOST.com – Sorotan terhadap aktivitas pengerukan liar di sejumlah desa di Kecamatan Dawan, Klungkung, kian meluas. Tidak hanya oleh masyarakat Klungkung, tetapi juga memantik perhatian kalangan mahasiswa di Bali.
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Udayana datang langsung ke Pemkab Klungkung, Rabu (10/8) untuk mempertanyakan dibiarkannya pengerukan liar ini berlangsung lama. Bahkan terkesan tanpa adanya upaya penertiban, sebagai bentuk nyata tindakan tegas.
Pengurus BEM Unud diterima langsung Bupati Klungkung Nyoman Suwirta bersama seluruh OPD terkait di Ruang Praja Mandala Pemkab Klungkung. Kasat Pol PP Provinsi Bali juga hadir langsung dalam pertemuan itu. Pertemuan BEM Unud dengan Pemkab berlangsung panas.
Perdebatan memanas saat mahasiswa mempertanyakan kenapa aktivitas pengerukan liar tetap dibiarkan, padahal 40 titik pengerukan liar tersebut, jelas-jelas tak satupun ada yang mengantongi izin pemerintah. Namun, pertanyaan tajam itu, tak mampu dijawab lugas oleh pemerintah daerah.
Bupati Suwirta berupaya memberikan penjelasan, bahwa semua tanah yang dikeruk untuk kebutuhan tanah uruk proyek Kawasan Pusat Kebudayaan Bali, adalah milik pribadi warga sekitar. Bupati Suwirta berdalih, warga mempersilahkan tanahnya direlakan untuk kebutuhan tanah uruk, karena mengaku ingin menata lahannya, agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Bupati juga membantah kalau itu disebut aktivitas pertambangan. Karena pemerintah daerah berdalih tidak pernah mengeluarkan izin pertambangan.
Pihaknya juga menolak dianggap melakukan pembiaran, sebagaimana sorotan mahasiswa, karena sejak awal aktivitas pengerukan liar ini, kata dia, tetap dalam pengawasan oleh Tim Evaluasi Izin Usaha Pertambangan dan Percepatan Penertiban Tambang Mineral Bukan Logam dan Batuan, sesuai dengan SK Nomor 284/01.3/HK/2022 per Jumat 8 Juli 2022.
BEM Unud nampak tak puas dengan penjelasan dari para pejabat pemerintah daerah. Ketua BEM Unud Darryl Dwi Putra, bahkan sampai berulang kali, mempertanyakan sikap pemerintah daerah, yang dinilai membingungkan. Mereka tetap bertahan atas argumentasi awal, kenapa pemerintah daerah tidak melakukan upaya penertiban, ketika sudah mengetahui ada aktivitas pengerukan liar yang jelas berdampak besar pada perubahan topografi lingkungan sekitar dan kerusakan fasilitas umum yang masif.
“Pengerukan ini tidak ada izin, lalu apakah kegiatan pengerukan ini masih dibiarkan?. Dampak negatifnya sudah banyak dikeluhkan masyarakat sekitar. Ini kami dengar langsung dari masyarakat di Desa Dawan Kaler, karena kebetulan kami melaksanakan program KKN disana,” sorot Ketua BEM Unud.
Sesuai dengan data dari tim pemerintah daerah, ada 40 titik pengerukan liar tersebar di beberapa desa. Seperti di Desa Paksebali ada empat titik yang terpusat di Dusun Kanginan. Desa Sulang satu titik, Desa Gunaksa empat titik di Dusun Babung dan Buayang. Desa Dawan Klod dan Dawan Kaler ada delapan titik pengerukan. Desa Besan satu titik pengerukan. Desa Pesinggahan ada 11 titik pengerukan, tersebar di Dusun Sangluh, Pundukdawa dan Belatung. Sisanya ada di Desa Pikat sebanyak 11 titik, tersebar di Dusun Pangi, Sente hingga Glogor. (Bagiarta/Balipost)