Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menyampaikan berbagai upaya perjuangan memulihkan ekonomi Bali dalam acara Bankruptcy Restructuring Talks Forum Recover (Bali) Together: Menanti Solusi Kelangsungan dan Pemulihan Usaha, pada Kamis (11/8) di Prime Plaza Hotel, Sanur. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati menyampaikan berbagai upaya perjuangan memulihkan ekonomi Bali dalam acara Bankruptcy Restructuring Talks Forum Recover (Bali) Together: Menanti Solusi Kelangsungan dan Pemulihan Usaha, pada Kamis (11/8) di Prime Plaza Hotel, Sanur. Acara yang dihadiri Ketua Umum Kadin Bali, para pengusaha, pelaku jasa keuangan ini bertujuan mencari solusi terkait kesulitan yang dialami pengusaha di Bali saat ini.

Narasumber lain yang juga memberi pemaparan adalah Wakil Ketua Umum Kadin Bali Bidang Pariwisata dan Investasi, Agus Maha Usadha, Akuntan Publik Joachim Adhi Piter Poltak Riyanto Piter, Wakil Ketua Bidang Legal PHRI Bali, Putu Subada Kusuma, Ketua Perbarindo Bali l, Ketut Wiratjana, Advokat, Kurator dan Pengurus dari Wibhisana dan Partner, Yudhi Wibhisana.

Dalam pemaparannya, Wagub Bali Cok Ace menyampaikan, segala upaya yang dilakukan berbagai pihak termasuk forum ini merupakan langkah baik dan ditunggu-tunggu sehingga upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali untuk membangun kembali ekonomi Bali yang sempat terpuruk dapat terbantu. Selama 2 tahun lebih Bali mengalami kontraksi ekonomi yang luar biasa terpuruk, terendah se-Indonesia yaitu rangking 34.

Baca juga:  Hadapi Tantangan Ekonomi, BRI Siapkan 4 Skenario Mitigasi Risiko

Baru kemudian pada triwulan II 2022, naik ke ranking 31. Dalam teori ekonomi, jika 2 kali mengalami kontraksi, maka sudah dapat dikatakan resesi. Sedangkan Bali telah 8 kali mengalami kontraksi.

“Sekarang sudah mulai bangkit tapi belum pulih – pulih amat. Dengan kondisi tersebut, Bali bukan hanya mengalami babak tapi malah babak belur sehingga penyembuhannya tidak hanya butuh waktu lama tapi juga perlu ahli – ahli yang memahami berbagai bidang,” ungkapnya.

Ia bersama Wamen Parekraf, OJK, dan pembuat kebijakan lain dari pusat telah melakukan rapat untuk menyelamatkan Bali. Dalam proses penyelesaian Covid 19, Bali masuk ranking terbaik tapi dalam hal proses pemulihan ekonomi, Bali termasuk yang terbawah. “Ini bukan pertemuan pertama tapi sudah melalui berbagai proses pertemuan karena luka Bali terlalu dalam sekali, makanya perlu dibahas intensif,” ujarnya.

Tahun 2017, 2018, 2019 , tren ekonomi Bali sangat baik terutama dengan wisatawan India yang mengalami peningkatan 50% per tahun, bersaing dengan kunjungan wisman China dan Australia yang juga terus mengalami pertumbuhan. Pada 2019 dengan tingkat kunjungan wisman 6,3 juta, diprediksi pada 2020 meningkat lagi menjadi 7,5 juta bahkan target Bali 10 juta wisman, membuat pelaku usaha optimis melakukan ekspansi usaha.

Baca juga:  BRI Research Institute Jalin Kolaborasi dengan Pemerintah Inggris Berdayakan UMKM Perempuan

“Ditambah dengan melihat trend dunia yang optimis, pengusaha melakukan ekspansi usaha menambah kamar, memperbaiki kamar, yang mana membutuhkan pendanaan. Pendanaan yang didapat dari pinjaman ke bank. Namun apa yang terjadi, pada 2020, Covid19 masuk ke Indonesia , dan kita tidak tahu kapan selesai,” ungkapnya.

Dalam kondisi pariwisata turun, para pengusaha berupaya memikirkan mempertahankan karyawan. Akhirnya, pinjaman yang diarahkan untuk investasi usaha, habis untuk maintenance SDM. Ketika border internasional dibuka, VoA dibuka mulailah pariwisata naik. Masalah kembali muncul, ketika kunjungan meningkat. Produk pariwisata di Bali khususnya hotel tidak siap menerima tamu. Sehingga akomodasi yang beroperasi hanya 40%, 50% dan sekarang meningkat 60%. Dari sisi biaya operasional sudah mulai membebani baik listrik, air, karyawan.

Sementara kunjungan tahun ini diprediksi hanya 2 juta wisman, masih jauh dari normal sebelum pandemi yang mencapai
6,3 juta. Artinya pariwisata belum mampu memulihkan ekonomi Bali. Dampaknya terhadap hutang – hutang yang diambil 2019 atau sebelumnya, belum ada jalan keluar.

“Kami dari pemerintah, PHRI dan pelaku usaha yang lain hanya mampu memperjuangkan relaksasi hanya sampai Maret 2023. Sedangkan perjuangan kita agar relaksasi bisa sampai 2025 masih perlu perjuangan. Tapi kalau relaksasi diperpanjang sampai 2025 apa akan menyelesaikan persoalan? Tidak akan, karena produk yang kita jual tidak layak,” bebernya.

Baca juga:  Ramai-ramai "Hijrah" ke Bisnis Digital

Namun ketika hutang bisa ditunda, muncul persolan lagi yaitu aktivitas pariwisata dan operasional hotel memerlukan modal kerja, maka dari itu perlu soft loan dengan bunga ringan. “HUlutang ditunda, softloan diberikan, belum juga mampu menyelesaikan persoalan karena tiket mahal bahkan tiket dari Australia ke Bali lebih mahal daripada dari Australia ke Thailand,” bebernya.

Ia berharap dari forum ini sinergi antara kebutuhan supply dan kebutahan demand (wisatawan) dapat menemukan titik terang. Ketua Umum Kadin Bali Made Ariandi mengatakan, pelaku usaha di Bali memang membutuhkan restrukturisasi dan permodalan untuk mencegah turun drastisnya ekonomi Bali. Maka dari itu, forum ini diharapkan memberi win win solution dari persoalan pelaku usaha di Bali. Setidaknya dari kesulitan yang dialami pelaku usaha di Bali, ada solusi alternatif yang bisa membantu pelaku usaha di Bali.ad

BAGIKAN