JAKARTA, BALIPOST.com – Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 meminta seluruh kepala daerah baik gubernur, walikota dan bupati di seluruh Indonesia agar kembali menggalakkan pengawasan kedisiplinan protokol kesehatan (prokes). Ini, terutama di tempat umum dan pemukiman warga.
Dikutip dalam keterangan tertulisnya, Juru Bicara Satgas Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito mengatakan untuk meningkatkan pencegahan upaya penularan, Satgas mengeluarkan penyesuaian kebijakan melalui SE Satgas No. 23 Tahun 2022 tentang Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN). Dalam aturan terbaru yang berlaku mulai 11 Agustus itu, PPDN baik WNI maupun WNA usia 6-17 tahun tanpa menjalani testing asal telah divaksinasi dosis kedua. Namun, jika baru sekali divaksin, PPDN wajib testing antigen 1×24 jam atau PCR 3×24 jam sebelum berangkat.
Kemudian, bagi pelaku perjalanan dalam negeri baik WNI maupun WNA usia 6-17 tahun yang baru menyelesaikan perjalanan luar negeri namun belum mendapatkan vaksinasi tidak diwajibkan menunjukkan kartu vaksinasi namun wajib melampirkan hasil pemeriksaan antigen 1×24 jam (negatif) atau PCR 3×24 jam (negative). Sedangkan bagi PPDN usia sama dengan atau di atas 18 tahun berlaku kewajiban tes PCR 3×24 jam jika tidak bisa vaksin dengan alasan kesehatan maupun jika hanya baru mendapatkan vaksin dosis satu dan dua, diperbolehkan melakukan perjalanan tanpa testing jika sudah menerima vaksin booster.
Diungkapkannya, pengetatan pengawasan ini karena positivity rate di Indonesia mengalami kenaikan signifikan dalam 5 minggu terakhir, dari 5,12 persen menjadi 10,05 persen atau naik hampir 2 kali lipat. “Jika dibandingkan dengan saat puncak Omicron lalu, dalam 5 minggu kenaikan hampir 17 persen. Sedangkan saat puncak Delta lalu kenaikan 9 persen. Artinya, kenaikan positivity rate kali ini masih lebih rendah disbanding saat puncak Omicron dan Delta.
Namun, ini tetap perlu kita waspadai karena positivity rate sudah di atas 10 persen,”ujar Wiku.
Menurut Wiku, angka positivity rate ini merefleksikan kenaikan kasus positif di tengah masyarakat. Jumlah kelurahan/desa yang dipantau dalam 1 bulan terakhir mulai terlihat menaik meski angka masih belum signifikan.
Dari total 80 ribu desa dan kelurahan di Indonesia, kata Wiku, di minggu ini hanya 2 ribu (2,5 persennya) yang dipantau kedisiplinan protokol kesehatannya. Wiku juga menyebutkan, perlu ada penyesuaian strategi vaksinasi COVID-19 yaitu mempercepat pemerataan cakupan vaksinasi dosis terlengkap agar mencapai kekebalan optimal. “Saat ini, tugas kita bukan sekadar memastikan diri sendiri sudah divaksinasi lengkap namun juga orang di sekitar kita. Karena tujuan utama kita adalah membentuk kekebalan kolektif bukan individual,” ujar Wiku.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan telah mengumumkan hasil Sero Survei ketiga yang dilakukan secara nasional pada 100 kab/kota terpilih yang sama dengan sampel untuk Sero Survei yang dilakukan akhir tahun lalu. Menurut Wiku, ini dilakukan untuk melihat progress peningkatan antibodi pada individu yang sama sehingga efektivitas penambahan dosis vaksin lebih jelas terlihat. “Khususnya karena dalam rentang waktu satu tahun itu, ada banyak program pengendalian COVID-19 lainnya, salah satunya pemberian vaksin booster dosis pertama
untuk masyarakat umum,” tegas Wiku.
Menurut Wiku, dari hasil tersebut ditemukan fakta bahwa kekebalan komunitas pada sampel yang diambil meningkat mencapai 98,5 persen. Dari situ diasumsikan kekebalan komunitas secara nasional rata-rata pun meningkat.
Peningkatan ini terjadi karena riwayat vaksinasi atau infeksi sebelumnya. Dalam studi ini juga ditemukan bahwa semakin lengkap dosis vaksin yang diterima maka semakin tinggi kadar antibodi atau kekebalan yang dimiliki seseorang. “Namun nyatanya secara data cakupan vaksinasi booster belum meningkat signifikan dibanding laju vaksinasi dosis pertama dan kedua terhitung dari suntikan pertama dosis pertama secara nasional,” ujar Wiku.
Padahal, kata Wiku, untuk membentuk dan mempertahankan kadar antibodi efektif mencegah infeksi, pemberian dosis vaksin lanjutan harus tepat waktu, khususnya booster yaitu 6 bulan pascapenyuntikan dosis kedua. Di satu sisi populasi yang tidak bisa divaksin karena alasan kesehatan akan makin terancam keselamatannya.
Hal ini justru semakin menguatkan urgensi untuk terus menerus meningkatkan cakupan vaksinasi bahkan seharusnya sampai ke titik optimal yaitu cakupan booster setinggi-tingginya. “Kembali kami ingatkan, vaksinasi bukanlah obat yang membuat kita kebal dari penularan. Ini kelihatan dari data bahwa 5 daerah penyumbang kasus tertinggi yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Bali memiliki cakupan vaksinasi booster yang tidak jauh dari rata-rata nasional bahkan lebih tinggi,” tegas Wiku.
Karena itu, kata Wiku, diperlukan proteksi berlapis sebagai pelengkap yaitu perilaku hidup bersih dan sehat. Diharapkan hal ini menjadi budaya yang tak lepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari. (kmb/balipost)