NEGARA, BALIPOST.com – Desa Adat Asah Duren yang berada di Kecamatan Pekutatan, memiliki agenda rutin Pitra Yadnya kolektif yang diselenggarakan setiap tiga tahun. Agenda rutin yang diselenggarakan secara mandiri dari Desa Adat itu sempat tertunda setahun karena pandemi COVID-19 tahun lalu.
Kini, yadnya kolektif yang disambut antusias krama ini kembali digelar setelah empat tahun. Desa Adat yang memiliki 968 KK, pada tahun ini kembali melakukan yadnya rutin dengan melibatkan partisipasi seluruh krama (gotong royong).
Sejak awal desa adat secara mandiri menganggarkan biaya kegiatan tiga tahunan ini dari anggaran pendapatan desa adat. Tahun ini, anggaran desa adat Rp60 juta. “Pitra yadnya kolektif, atma wedana lan meajar-ajar disini merupakan agenda rutin desa adat tiga tahun sekali. Yang sekarang ini jaraknya empat tahun karena tahun lalu tertunda karena pandemi (PPKM),” ujar Bendesa Asah Duren, I Kadek Suentra.
Tahun ini peserta dari krama desa adat dan luar desa ratusan sawa, di antaranya ngaben 33 sawa, nyekah 71 sawa, dan meajar-ajar 191 sawa. Meajar-ajar menurutnya memang lebih banyak karena pandemi lalu ada yang kremasi dan belum meajar-ajar.
Selain dari krama sekitar desa adat itu, peserta menurutnya juga ada dari luar Bali, seperti dari Sulawesi dan Kalimantan Timur. Selain dari desa adat, anggaran juga dilakukan gotong royong dari krama masing-masing per KK Rp 100 ribu serta punia pewilet yadnya sehingga total Rp 340 juta.
Termasuk bantuan punia dari Bupati Jembrana I Nengah Tamba yang hadir dan turut mendoakan agar pelaksanaan upacara berjalan dengan baik. Agenda rutin Pitra Yadnya Kolektif ini mendapat sambutan antusias dari krama.
Desa yang memiliki kontur wilayah perbukitan ini, mayoritas krama bermatapencaharian sektor perkebunan rakyat. Selain hasil bumi berupa cengkeh, durian dan kakao, beberapa produk pertanian juga dikembangkan, seperti pisang.
Selama puluhan tahun sejak desa dibuka, secara turun temurun krama bertumpu pada sektor perkebunan rakyat. Meski sedikit jauh dari perkotaan, desa adat yang terbagi menjadi tiga banjar adat ini bisa berkembang melakukan pembangunan, salah satunya disokong dari hasil perkebunan rakyat di tanah pelaba pura.
Desa adat ini memiliki sejumlah tradisi khas Asah Duren. Salah satunya “tampah kebo” saat Galungan. (Surya Dharma/balipost)