Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa menggelar Tradisi "Caru Majaga Jaga." (BP/Istimewa)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Krama Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Semarapura Kaja, Klungkung masih berupaya menjaga harmonisasi alam dengan pelaksanaaan tradisi. Tradisi yang dimaksud berupa prosesi caru majaga-jaga, yang rutin dilaksanakan setiap tahun bertepatan dengan tilem sasih karo.

Caru mejaga-jaga punya keunikan tersendiri. Ritual yang dilaksanakan secara turun temurun ini, selain langka, juga menggunakan sarana berupa seekor sapi, yang harus memenuhi beberapa kriteria. Bendesa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Wayan Sulendra, usai pelaksanaan tradisi, Jumat (26/8) mengatakan caru mejaga-jaga ini mempergunakan sarana berupa seekor sapi cula atau sapi jantan yang sudah dikebiri.

Selain itu, sapi juga tidak boleh ada manggar di punggung, tidak boleh ada suku bang (kuku kaki berwarna merah), lidah sapi tidak boleh berwarna poleng serta tidak boleh ada panjut (ekor sapi berwarna putih). “Sapi yang digunakan disebut sapi cula, kelamin jantan dan berwarna merah alias sapi tanpa cacat yang tentunya tidak sembarangan didapat, dan sapi didapatkan dari petunjuk gaib yang diperoleh jero mangku,” katanya.

Baca juga:  Gubernur Koster Buka "Gerakan Satu Juta Krama Bali Satu Juta Yowana Bali"

Prosesi caru mejaga-jaga ini diawali dengan mengarak sapi cula nyatur desa atau empat arah mata angin. Ratusan warga silih berganti mengarak sapi cula tersebut, diiringi tetabuhan baleganjur.

Diawali iring-iringan kober yang dibawa oleh anak-anak. Uniknya, kober itu bukan terbuat dari kain seperti umbul-umbul pada umumnya, melainkan kober itu terbuat dari dahan pohon enau dihiasi bunga beludru, tidak boleh diganti dengan jenis bunga yang lain. Bunga beludru yang memiliki warna merah dan putih melambangkan purusa perdana.

Baca juga:  Karena Obyek Wisata Ini, Nusa Penida Jadi Destinasi Paling Viral di Akun Medsos Kemenparekraf RI

Ritual ini diawali dari jaba Pura Puseh ke arah utara, kemudian ke arah selatan ke jaba Pura Dalem, diteruskan ke arah timur lalu ke arah barat menuju Pura Prajapati dan terakhir di perempatan desa. Di setiap lokasi juga dihaturkan sarana berupa banten pejati.

Sapi cula itu disempal dengan parang. Parang yang digunakan untuk menyempal tubuh sapi cula itu pun bukan sembarang parang, melainkan yang dikeramatkan oleh Warga Besang Kawan Tohjiwa. Senjata sakral itu sendiri selama ini disimpan di gedong penyimpenan.

Selain harus menggunakan parang keramat, orang yang menyempal sapi cula itu juga tidak boleh sembarangan. Seorang jero mangku ditunjuk khusus untuk melakukan itu. Pemangku itu bernama Mangku Kubayan atau disering sebut Mangku Pula Pati. Mangku Kubayan ini harus dari warih turun temurun.

Baca juga:  Menag Lepas Kloter Pertama Jemaah Haji 2017

Setiap punggung sapi disempal, warga yang bertugas memegang tali sapi yang terbuat dari tali bambu harus bersiap-siap menarik kencang tali tersebut, untuk menghindari sapi itu agar tidak terlepas. Begitu disepal darah pun tercecer di sepanjang jalan.

Ceceran darah sapi cula diyakini sarana untuk membersihkan atau menghamornisasi alam. Percikan darah itu juga diyakini warga bisa menyembuhkan segala macam jenis penyakit kulit.

Karena itulah di setiap ceceran darah, ada saja warga yang menengadahkan tangan, lalu percikan darah itu langsung diusapkan ke kening maupun wajah. Setelah diupacarai, sapi cula itu lalu dipotong menggunakan bambu rucing. Daging sapi cula lantas diolah untuk keperluan sarana caru, sebagian dibagikan kepada warga. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN