DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 telah menciptakan kesadaran tentang perlunya arsitektur kesehatan yang kuat dan komprehensif untuk menghadapi situasi darurat, menciptakan kesiapsiagaan agar tercipta masyarakat yang tangguh. Proses menuju cita-cita ini bisa dimulai dengan mengelola ratusan juta data genomik yang terkumpul selama pandemi. Demikian mengemuka dalam diskusi yang mengupas tentang persiapan arsitektur kesehatan tersebut dibahas dalam Tri Hita Karana (THK) Forum Road to G20 di Kura Kura Bali, Sabtu (27/8) yang dipantau secara virtual.
Dengan tema “Global Health Architecture: Bali for the World on Health, Resilience, and Happiness – Research Innovation, Healthcare, and Finance Ecosystem” dihadirkan sejumlah panelis, baik secara daring maupun luring. Topik yang didiskusikan antara lain, pembangunan infrastruktur kesehatan berupa fasilitas kesehatan berkelas dunia, pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia, pembiayaan riset kesehatan dan genomik, inovasi dalam pengiriman obat dan akses perawatan kesehatan, dan pemanfaatan inovasi digital untuk menciptakan ekosistem kesehatan global.
Dalam diskusi hadir dua menteri yakni Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Keduanya sepakat bahwa Bali merupakan lokasi tepat untuk mengembangkan pusat kesehatan bertaraf internasional.
Budi mengatakan pandemi telah menciptakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengolah ratusan juta data genomik yang akan digunakan sebagai basis penelitian untuk menciptakan inovasi kesehatan agar tumbuh generasi yang lebih sehat di masa mendatang. Budi menyatakan bahwa salah satu pusat untuk mengembangkan riset genomik adalah di Bali.
Sejalan dengan Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali yang diluncurkan 3 Desember 2021, Presiden Joko
Widodo menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi di Bali. Sehingga tidak hanya tergantung
pada satu sektor, yaitu pariwisata saja.
Sebagai implementasi dari Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali tersebut, Kementerian Kesehatan telah
melakukan beberapa beberapa upaya untuk mengolah data genomik tersebut, misalnya membangun pusat riset genomik di Universitas Udayana dan melakukan pertemuan dengan East Venture untuk mendukung bio research di Bali. “Bali memiliki modalitas untuk membangun dan menyiapkan infrastruktur kesehatan. Untuk itu, kami membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk mendirikan pusat riset dan investasi lainnya di bidang kesehatan di Indonesia. Namun, monetisasi tetap harus dilakukan di Indonesia
dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Budi.
Sandiaga juga mendukung konsep medical tourism sebagai bagian dari pemulihan sektor wisata yang sangat terdampak akibat pandemi. Terlebih, industri pariwisata saat ini juga telah menerapkan konsep Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability. “Tidak ada lokasi yang lebih tepat untuk mengembangkan pusat kesehatan berstandar internasional selain di Bali,” kata Sandiaga.
Dalam pembukaan diskusi, Pro Vice Chancellor Oxford University (2014-2021) Sir Gordon Duff mengemukakan pandemi telah menciptakan
momentum untuk mengembangkan skala, kapasitas, dan respons cepat untuk menciptakan ketahanan kesehatan global. “Bali dan Indonesia adalah tempat yang strategis untuk memanfaatkan momentum ini agar ilmuwan bisa memahami target obat baru dan jenis perawatan kesehatan yang lebih tepat untuk kesehatan manusia.”
Andrew Lo, Director of Financial Engineering at MIT Sloan School of Management menekankan kesehatan adalah masalah global, sehingga perlu bantuan dari semua pemangku kepentingan untuk mengatasinya.
Dalam skenario perhitungannya, Andrew mengungkapkan diperlukan dana biofund sebesar USD30 miliar untuk memperbesar skala dampak serta mengurangi risiko keuangan. Hal ini bisa
dicapai dengan skema blended finance; yaitu menggunakan dana publik sebagai katalis untuk
menarik investasi dari pendanaan swasta secara masif.
Di akhir diskusi disimpulkan berbagai inisiatif terkait pembangunan arsitektur kesehatan ini memerlukan kolaborasi berbagai pihak – termasuk pemerintah, praktisi kesehatan, industri kesehatan dan farmasi, kelompok investor dan keuangan, asosiasi kesehatan dan rumah sakit untuk bisa mencapai arsitektur kesehatan yang dicita-citakan. “Kami harap diskusi ini bisa membangun kesadaran dan komitmen yang lebih kuat antara pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem dan arsitektur kesehatan global, dan secara khusus mendorong Bali menjadi pusat kesehatan yang tangguh,” tutup Executive Lead THK Forum, Tantowi Yahya. (Diah Dewi/balipost)