DENPASAR, BALIPOST.com – Pertumbuhan ekonomi Bali sesungguhnya berada dalam momentum pemulihan. Namun dengan tingkat inflasi yang tinggi sementara pertumbuhan ekonomi yang rendah, ekonomi Bali dibayangi stagflasi. Bali perlu melakukan langkah mitigasi dan antisipasi agar dampak stagflasi tidak mengahancurkan momentum pemulihan.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali, Trisno Nugroho, Kamis (1/9) mengatakan, di tengah ketidakpastian ekonomi global, nasional, dan regional serta masih berlangsungnya konflik geopolitik, terdapat risiko terus meningkatnya tekanan
inflasi yang semakin jauh di atas target nasional, dan berpotensi mengakibatkan terjadinya stagflasi.
Sebagai provinsi yang perekonomiannya sangat bergantung kepada sektor pariwisata, pelonggaran pembatasan aktivitas publik dengan semakin terkendalinya penyebaran Covid-19, seharusnya memberikan momentum positif bagi pertumbuhan ekonomi Bali.
“Dan kita sudah berada di jalur yang tepat. Pertumbuhan ekonomi Bali sepanjang periode berjalan di tahun 2022 mulai tumbuh positif, setelah pada tahun 2020 dan 2021 Bali mengalami kontraksi ekonomi, yang mana hampir setiap triwulan menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah di Indonesia,” ujarnya.
Indikator perbaikan pertumbuhan ekonomi Bali, salah
satunya dapat dilihat dari kunjungan Pelaku Perjalanan Luar Negeri yang masuk ke Bali.
Sampai dengan Agustus 2022, kunjungan PPLN bahkan tercatat mencapai 959 ribu orang,
lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 yang hanya sebanyak 473 orang.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Bali sudah tumbuh positif dengan indikator di atas, namun pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan II 2022 masih relatif terbatas dibandingkan rata-rata nasional dan berada pada urutan ke-31 dari 34 provinsi di Indonesia. “Hal ini menunjukkan upaya Bali dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masih perlu dioptimalkan ke depannya,” jelas Trisno.
Di tengah pemulihan ekonomi Bali yang sedang berlangsung, Provinsi Bali dihadapkan pada peningkatan tekanan nflasi seiring permintaan yang menguat. Hingga Bulan Juli 2022, tekanan inflasi
Bali 6,74% (yoy), sudah berada di atas inflasi nasional 4,94% (yoy), dan berpotensi terus meningkat di atas rentang target inflasi 2022 yaitu 3±1%.
Tingginya tekanan inflasi Bali disumbangkan oleh kelompok volatile foods dan administered prices, masing-masing 17,71% dan 6,99% (yoy) yang
dipengaruhi oleh percepatan pemulihan pariwisata, hingga dampak lanjutan perang Rusia-Ukraina yang memicu kebijakan proteksionisme dan mengakibatkan kelangkaan komoditas energi dan pangan pada level global, nasional, dan regional.
Risiko tekanan inflasi yang berpotensi terus meningkat hingga akhir tahun perlu diwaspadai dan dimitigasi lebih lanjut. Pada saat tekanan inflasi terus merangkak naik namun tidak dapat diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang optimal, muncul risiko terjadinya stagflasi yaitu pertumbuhan ekonomi stagnan namun tekanan inflasi tinggi.
Hingga saat ini, sejumlah negara yang terekspose oleh risiko lonjakan inflasi memberikan respons melalui pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif dan berpotensi menahan pemulihan ekonomi
dan berisiko mengakibatkan stagflasi. Sementara itu, Indonesia masih menjaga stance kebijakan moneter di tengah inflasi yang masih terjaga. Namun jika
dilihat secara spasial, Bali memiliki kenaikan inflasi cukup tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang masih rendah dibandingkan rata-rata historis, sehingga diperlukan langkah-langkah yang antisipatif. (Citta Maya/balipost)