NEGARA, BALIPOST.com – Tiga lumba-lumba hidung botol dilepasliarkan pada Sabtu (3/9) di perairan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Jembrana. Pelepasliaran lumba-lumba ini serangkaian peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) Tahun 2022.
Lumba-lumba hidung botol adalah salah satu mamalia yang dilindungi berdasarkan PP 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 106 tahun 2018. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof. Siti Nurbaya, dalam keterangan tertulisnya, menekankan bahwa penyelamatan satwa sebagai komponen penting dari rantai makanan dalam suatu ekosistem harus terus diupayakan menggunakan metode yang mengacu pada rules based, scientific based dan evident based, untuk bisa menjadi referensi di masa depan.
“Kerjasama antara KLHK dengan mitra dalam penyelamatan satwa juga harus dilakukan untuk mencapai tujuan negara dalam melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati Indonesia,” ungkap Siti Nurbaya saat pelepasliaran.
Tiga Lumba-lumba hidung Botol yang telah melalui proses rehabilitasi ini, berjenis kelamin jantan. Rocky berumur 15-20 tahun, sedangkan Jhony dan Rambo berumur 30 tahun.
Lumba-lumba hidung botol ini pada mulanya merupakan satwa koleksi dari Taman Satwa Melka di Buleleng. Namun karena keberlanjutan Lembaga Konservasi ini terhenti, ketiga lumba-lumba hidung botol itu dikembalikan kepada negara.
Kepala BKSDA Bali, Agus Budi Santosa mengatakan pada 2019, bekerjasama dengan Jaringan Satwa Indonesia (JSI) dan Taman Nasional Bali Barat, ketiga lumba-lumba tersebut dipindahlan keramba (Sea Pen) rehabilitasi dan perawatan di Teluk Banyuwedang, Perairan Laut Taman Nasional Bali Barat. “Proses rehabilitasi yang dilakukan di Sea Pen berukuran 30 x 20 x 13 meter bertujuan untuk mengembalikan kesehatan dan sifat liarnya agar dapat dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya,” ungkap Agus.
Pada saat menjadi satwa koleksi di Lembaga konservasi (ex situ), ketiganya terbiasa diberi makan, sehingga perlakuan pemberian makan secara bertahap diubah agar dapat mencari makan sendiri di alam. Tahap awal masih diberi makan ikan mati utuh, kemudian ikan hidup, sampai kepada penghentian sama sekali pemberian makan tetapi diciptakan ekosistem buatan (Sea Pen) mendekati ekosistem alaminya.
Ia menjelaskan, dalam proses rehabilitasi, Jhony tidak dapat menggigit ikan ketika menangkapnya dan sering terlepas, tidak seperti Rocky dan Rambo. Berdasarkan analisis dokter hewan dari JSI yang didampingi oleh dokter hewan dari Taman Nasional, untuk membantu kemandirian pencarian pakan alami Jhony dipasangi mahkota gigi palsu.
Pemasangan gigi pada lumba-lumba itu terbukti berhasil dilakukan tanpa menyakiti dan mengembalikan perilaku menangkap ikan hidup di alam. Taman Nasional Bali Barat telah dinilai akan sesuai sebagai lokasi pelepasliaran ketiga lumba-lumba tersebut. Diketahui terdapat 17 jenis lumba-lumba di dunia dan 10 jenis diantaranya terdapat di Indonesia.
Plt. Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Bambang Hendroyono menambahkan keberhasilan rehabilitasi lumba-lumba termasuk pemasangan gigi dari konservasi ex-situ untuk siap dikembalikan ke habitat alaminya (in situ) patut dihargai. Sebab, ini merupakan yang pertama di Indonesia.
Bahkan masih sangat langka dilakukan di dunia sehingga hal ini bisa menjadi referensi bagi “future practices” dalam pemulihan dan penyelamatan mamalia laut, seperti Lumba-lumba.
Ketiga lumba-lumba dipasang GPS yang akan terlepas sendiri 1 tahun kemudian, sehingga keberadaannya dapat dipantau melalui satelit. Selanjutnya monitoring pasca pelepasliaran akan tetap dilakukan baik menggunakan radiometri dan sonar serta pemantauan secara faktual melalui patroli dan sosialisasi kepada para pelaku jasa wisata dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional. (kmb/balipost)