Nyoman Parta. (BP/Dokumen)

JAKARTA, BALIPOST.com – Pemerintah diminta membuat kebijakan afirmatif untuk mempercepat swasembada garam. Sebab, saat ini banyak kendala yang dihadapi petani garam sehingga ada kesan memberi “karpet merah” untuk garam impor dalam memenuhi kebutuhan industri. Demikian dikemukakan anggota DPR RI dari Dapil Bali, Nyoman Parta pada Selasa (6/9) dalam keterangan tertulisnya.

Pemerintah, kata Parta, harus segera melakukan langkah afirmatif memberikan dukungan teknologi sebab garam bukan hanya untuk kosumsi. Garam dan turunannya sangat banyak serta bisa untuk produk kosmetik, farmasi, deterjen, makanan dan minuman, serta industri manufaktur lainnya.

Ia mengungkapkan dari data yang ada, Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan garis pantai terpanjang yang membentang sejauh 54.716 kilometer (km). Posisi Indonesia berada di bawah Kanada dan Norwegia.

Dengan garis pantai yang besar tersebut, Indonesia dipandang punya lahan potensial yang besar untuk tambak garam. Namun sayang, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam di Indonesia sebesar 1,09 juta ton pada 2021.

Baca juga:  Harus Diantisipasi, Kesenjangan Sosial Revolusi Industri Keempat

Jumlah tersebut turun 20,44 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,37 ton. Produksi garam tersebut juga hanya mencapai 61,9 persen dari target nasional yang ditetapkan pada 2021.

Sepanjang tahun lalu, KKP menargetkan produksi garam nasional sebanyak 2,1 juta ton. Adapun, produksi garam nasional pada 2021 tak bisa mencukupi kebutuhan garam nasional.

Karenanya, pemerintah mengimpor garam hingga 2,83 juta ton pada tahun lalu. Ia menyebutkan ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat produksi garam nasional mulai dari musim kemarau basah yang membuat produksi garam rakyat tidak optimal, pemanfaatan teknologi yang belum merata, ongkos produksi yang mahal dan harga jual garam sering tak menentu.

Baca juga:  WAN-IFRA Gelar Publish Asia 2018 di Bali

Selain faktor-faktor di atas terdapat juga permasalah lain yang kerap luput, yaitu produk garam petani kecil sering terhambat perihal standarisasi dan kerap dihakimi kandungan NaCl-nya rendah yang artinya tidak bisa memenuhi standar untuk kebutuhan industri. Dalam standarisasi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, syarat kandungan NaCl untuk perindustrian sebesar 97%- 99% (hampir 100%) sedangkan produk garam lokal kandungannya 92 persen. “Jadi standarisasi yang dibuat terlalu tinggi menyusahkan garam-garam yang diprodukasi oleh rakyat dan akhirnya memberikan karpet merah untuk garam import untuk kebutuhan industri,” sorotnya.

Padahal, lanjutnya, garam hasil produksi organik petani rakyat dari garis pantai Indonesia tidak hanya mengandung NaCl-nya namun kaya kandungan mineral yang sangat dibutuhkan manusia sehingga masuk sebagai kategori “Garam Sehat.”

Baca juga:  Transformasi Digital Tidak Bisa Ditawar: Digitalisasi Dalam Kerangka ESG Dukung Bisnis Mikro BRI Tumbuh dan Sustain

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti PT Garam selaku perusahaan negara untuk produk garam. Ia menilai perusahaan itu harus selalu memonitoring dan mengantisipasi terkait masuknya garam impor ke rumah tangga Indonesia.

Sebab, kondisi ini bertentangan dengan izin impor (HS-Code 25.01) yang menyatakan bahwa garam impor hanya digunakan untuk kebutuhan industri. Namun di lapangan, telah dilakukan praktek manipulasi. Salah satunya, diduga mesin yang sama digunakan memproses garam impor dan lokal sehingga setelah diproses tidak dapat dibedakan.

“BUMN PT. Garam harus mampu berinovasi agar swasembada garam bisa terealisasi dengan mengampu tambak-tambak milik rakyat dengan konsep kemitraan. PT. Garam harus ambil posisi meningkatkan kualitas garam rakyat agar bisa masuk pasar industri,” ujarnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN