Oleh I Gusti Ketut Widana
Bicara tentang dinamika selalu menimbulkan fenomena yang kemudian menjadi realita dengan segala perubahannya. Perubahan itu abadi, menjadikan kehidupan ini terus bergerak dinamis, memperlihatkan beraneka rupa gejala dari yang bersifat realita hingga hyper realita, Tak salah Anderson (2004) menyatakan, what does not change, is the will to change, bahwa apa yang tidak berubah adalah kehendak untuk berubah.
Terjadilah perubahan terus menerus secara gradual hingga ujung kehidupan kembali ke asal. Persoalannya, setiap perubahan tidak selalu berkembang menjadi lebih baik. Justru tak jarang keluar dari rujukan tekstual yang banyak mengandung konsep ideal.
Sehingga dalam kontekstual, adakalanya mengarah pada penyimpangan. Antara konsep dalam teks tidak lagi konek dalam konteks, yang dalam idiom budaya Bali disebut “nungkalik” alias paradoks. Tak terkecuali terkait konsep Tri Hita Karana yang menunjukkan gejala terpeleset, lalu meleset hingga akhirnya menjadi plesetan — Tri ‘’Kite’’ Karana.
Spiritnya “nganggoang kite” (semaunya) dalam memaknai dan menerapkan ajaran Tri Hita Karana. Berawal dari sumber teks Bhagawadgita III. 10, yang kemudian melahirkan tiga tatanan hubungan sebagai penyebab kehidupan sejehtera dan bahagia, yaitu hubungan religis (Bhakti) kehadapan Tuhan (Parahyangan); hubungan sinergis (Tresna) dengan sesama manusia (Pawongan); dan hubungan harmonis (Eling) dengan alam/lingkungan (Palemahan).
Jika diringkas, intisari ajaran Tri Hita Karana berisikan konsep “Bhatra”: Bhakti-Tresna-Eling, semacam energi rohani yang mampu membangkitkan spirit religiosity, humanity, dan ecology. Lalu di mana letaknya praktik “Tri Kite Karana”? Tanpa berpretensi menggeneralisasi, tidak dapat dimungkiri, ada sisi-sisi yang masuk kategori nganggoang kite.
Dimulai ranah Parahyangan, sangat kental dengan urusan “Puri” (Pura dan Ritual). Di antaranya, pertama, trend membangun pura dengan mindset pembaruan, lantaran mendapat bantuan keuangan khusus dari pemerintah. Tidak sedikit pura yang bernilai historis, arkeologis bahkan magis dikikis lalu diganti (renovasi) agar tampilan fisiknya lebih estetis dan stylist.
Meski sebenarnya ada opsi melakukan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (restorasi/rehabilitasi), yang lebih bersifat penguatan. Kedua, beberapa pura yang adalah tempat suci (sakral) dibranding sebagai objek wisata, sehingga para tamu (dengan kemungkinan cuntaka) bebas masuk ke area dalam (jeroan), demi mendapat pembagian “kue manis” dunia pariwisata.
Ketiga, fungsi pura masih tetap dominan sebagai tempat pelaksanaan ritual. Sementara penggunaannya untuk pembinaan intelektual umat melalui proses pembelajaran agama Hindu nyaris termarginal.
Padahal melirik tempat ibadah agama lain, justru
itu yang penting dan sangat menonjol. Tak heran
dalam soal pengetahuan, dan pendalaman umat
terhadap ajaran agama Hindu, baik dari segi
paradogma dan paradigma, apalagi dari perspektif
kontemporer tampak jauh tertinggal.
Lanjut menyelidik kiprah Pawongan, meski rujukan kitab-kitab suci begitu sempurna konsepnya secara tekstual, namun dalam konteks sosial berkaitan dengan humanity masih belum sepenuhnya terbukti. Beberapa contoh dapat disebut, di antaranya asas hidup suka duka, seringkali menjelma menjadi suka membuat (nyama/semeton) berduka; nyama braya berubah menjadi nyama brenye (saudara/keluarga berantakan), druwenang sareng berkembang menjadi
druwene serang (hak milik diserang).
Celakanya, sebagaimana sudah menjadi rahasia umum semua konsep nungkalik itu antara lain dipicu
rasa iri hati (matsarya). Apalagi ketika mengulik
kancah Palemahan, berhubungan dengan lingkungan/alam.
Berdasar fakta lapangan, justru terjadi “palemahan” dalam hal komitmen merawat, mencintai dan melestarikan sumber daya hayati. Dibuktikan dengan tidak sepenuhnya alam Bali mampu memberikan daya dukung terhadap seluruh aspek hidupan. Masih tergantung pada pasokan daerah luar, mulai dari konsumsi sembako (material) hingga keperluan sesaji
sembahyang plus persembahan (ritual).
Bahkan terkait dengan makna yadnya yang dikatakan
bertujuan mengharmoniskan alam, kenyataannya hanya untuk memenuhi kebutuhan janur/busung,
kelapa, buah, bunga, dll saja sangat tergantung supply dari luar Bali. Belum lagi ketika ritual yadnya usai berlangsung, acapkali sisa sesaji nganggoang kite dibuang.
Tentu kita tidak ingin konsep Tri Hita Karana terpeleset terus menjadi Tri Kite Karana, atau hanya sebagai Tri Kone Karana — hanya “kone” alias konon bernilai luhur ajarannya, namun luntur dan kabur pemaknaan bahkan ngawur penerapannya.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar