MANGUPURA, BALIPOST.com – Menjamurnya tempat hiburan malam (THM) di wilayah Kuta Utara membuat masyarakat setempat tidak nyaman. Bahkan ada petisi yang dikirim ke Presiden Joko Widodo hingga Gubernur Bali, Wayan Koster, untuk mengambil tindakan terhadap suara bising ekstrem yang terjadi di Batu Bolong, Brawa, dan Canggu, Kuta Utara.
Dikonfirmasi soal kebisingan yang mengganggu warga ini, Kapolsek Kuta Utara Kompol Putu Diah Kurniawandari, Selasa (13/9) mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Satpol PP Badung. Pihak kepolisian dengan Satpol PP akan mendatangi THM dan mengimbau untuk mengecilkan volume suara musiknya di atas pukul 22.00 WITA.
Di wilayah mana paling banyak THM-nya? “Kalau di Kuta Utara selama ini kan di sepanjang pantai ada beach club-nya. Itu yang kami sasar,” ujarnya.
Menurut mantan Kapolsek Mengwi ini, di wilayah tersebut paling banyak ada pengunjungnya.
Perlu diketahui, Kuta Utara saat ini jadi tujuan utama wisatawan yang datang ke Bali.
Semakin banyak turis yang berkunjung ke objek wisata yang ada di sana, dibarengi dengan menjamurnya THM. Bahkan bermunculan THM besar yang bisa menampung ribuan pengunjung.
Sebelumnya, sebuah petisi dan surat terbuka bertajuk “End Extreme Noise in Canggu” (Basmi Polusi Suara di Canggu) dipasang di change.org dan memperoleh dukungan 6.854 masyarakat dan warga asing. “Kami bersama-sama mewakili penduduk Bali dan terutama kami yang bekerja dan tinggal di Canggu, merasa trenyuh melihat Bali yang dirusak habis-habisan oleh bar-bar, ‘beach club-beach club, night club-night club’,” kata penggagas petisi, P Dian, di Denpasar, Senin.
Ia menjelaskan Pulau Dewata yang begitu terkenal karena kedamaian, keindahan, dan budaya hingga memenangkan sebagai pulau nomor 1 di dunia itu, kini diganggu suara menggelegar dari bar-bar terbuka di Batu Bolong maupun di Brawa.
“Hampir setiap malam dalam seminggu, setiap minggu, setiap bulan, sebelum maupun kini setelah pandemi, membuat manusia tidak mungkin beristirahat tidur di malam hari, di jam-jam normal seperti di atas jam 22, karena suara menggelegar dari bar-bar terbuka yang bersebelahan dengan pura-pura suci Bali, hingga membuat kaca-kaca jendela dan pintu bergetar. Lebih parah daripada gempa bumi,” katanya.
Menurut dia, gangguan suara ini berlangsung hampir setiap malam, hingga jam 1, jam 2, jam 3, bahkan kadang jam 4 pagi. “Negara lain selalu mempunyai aturan resmi bahwa terutama di atas jam 22 (10 malam), tidak diperbolehkan suara keras apa pun atau oknum-oknum tersebut langsung mendapatkan sanksi penalti yang berat, bahkan bisa langsung disegel dan dicabut izin operasionalnya,” katanya. (Kerta Negara/balipost)