Oleh IGK Manila
DI tengah harapan dan prediksi kepulihan pariwisata pascapandemi, Bali bagaimanapun harus punya cadangan langkah ekonomi. Di samping itu, ketahanan ekonomi—di mana ketahanan pangan adalah yang terpenting—harus dibangun secara lebih terdistribusi antar sektor utama.
Dalam hal ini, Bali, yang sebelum mengalami booming industri pariwisata berbasis agraria dan di mana ‘menu’ pariwisata itu sendiri pada dasarnya kultural-agraris, sebenarnya tak punya alternatif lain. Pertanian dan peternakan harus kembali mendapat perhatian dan ruang yang luas.
Hanya saja itu tidak mudah. Salah satu tantangan utama adalah soal lahan. Konversi lahan pertanian di Bali sebelum pandemi mencapai 2.000 ha per tahun, di mana 419,76 ha (0,51 persen) adalah alih fungsi sawah. Sejak 2019 Bali telah kekurangan lahan pertanian kurang lebih 10.000 ha. Sementara itu, ada juga konversi lahan pertanian aktif untuk keperluan jalan tol dan lainnya.
Pendapat Prof. Wayan Windia, yang baru-baru ini menyarankan penggunaan lahan tidur, hemat saya, sangat mungkin dan wajib dijalankan. Lahan yang sudah tidur selama 5 tahun atau lebih sebaiknya digunakan kembali untuk pertanian. Sebab selama ini lahan-lahan tersebut hanya untuk bahan dagangan dan spekulasi.
Bahkan jika industri pariwisata pulih seperti sediakala—yang dengan melihat pertumbuhan ekonomi dunia atau negara asal wisatawan mungkin tidak akan secepat yang diperkirakan—pembangunan ulang sektor pertanian tak akan ada ruginya. Sebab jika ini berhasil, tingkat kemandirian pangan dengan sendirinya juga menjadi naik.
Langkah Politik
Pemanfaatan lahan tidur merupakan alternatif yang terkait dengan pemenuhan hajat hidup orang banyak, di mana eksekutif pemerintahan, birokrat pertanian dan wakil-wakil rakyat adalah pemangku tanggung-jawab.
Pertama sekali, badan, lembaga atau dinas pertanian bisa bergerak dengan mengajukan desain berdasar data-data yang kuat, yang tidak saja diajukan kepada para pengambil keputusan politik, tetapi juga di-share kepada publik. Sebab pelibatan civil society bagaimanapun juga amat penting sistem politik modern.
Kedua, eksekutif atau pejabat politik (gubernur dan bupati/walikota), jika mencermati secara saksama, akan menemukan bahwa alternatif ini sangat baik bagi ketahanan ekonomi rakyat dan ‘seksi’ secara politis. Dengan kewenangan yang dimiliki, para eksekutif pemerintahan di Bali bisa menyesuaikan, misalnya, dalam politik anggaran mereka.
Ketiga, lembaga-lembaga politik, seperti partai, baik yang memiliki wakil ataupun tidak di legislatif, sudah waktunya bergerak secara lebih positif terkait ketahanan pangan ini. Harus dipahami juga dalam konteks ini bahwa rakyat sebagai konstituen pada dasarnya semakin cerdas, di mana pilihan mereka tidak bisa dikatakan melulu transaksional. Sehingga ini bisa jadi momentum bagi partai-partai atau tokoh politik.
Sementara itu, pengarusutamaan pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian tentu juga akan menghadapi kendala. Misalnya, perubahan kultural pola ekonomi, yang disebabkan urbanisasi atau perubahan mindset tentang ‘bertani’ sebagai pilihan pekerjaan yang tidak ‘seksi’. Dalam hal ini, insentif-insentif yang sesuai wajib dipertimbangkan serta alternatif-alternatif modernisasi pertanian.
Juga penting dipertimbangkan bagaimana supaya pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian tidak merugikan pemilik lahan atau penggarap. Dalam hal ini, alternatif-alternatif skema kemitraan, di mana bukan hanya terdapat pihak pemilik dan penggarap, tetapi juga ada pihak ketiga seperti pemerintah sebagai penjamin, harus diidentifikasi dan dikembangkan.
Momentum ancaman ketahanan pangan serta program nasional seperti food estate harus dimanfaatkan secara baik oleh pemerintahan dan masyarakat Bali. Seperti disinggung di atas, Bali berkultur agraris dan pariwisata juga dibangun dan dikembangkan dengan kultur itu. Di samping itu, Bali juga sudah memiliki sistem irigasi tradisional serta pasar pertanian yang jelas dan juga tak kalah pentingnya agroklimat yang sesuai.
Jika upaya politik untuk mengatur pemanfaatan lahan tidur di Bali berhasil, maka modal kultural, sosial dan alam tersebut akan membantu secara signifikan. Bandingkan, misalnya, dengan ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah jika harus membangun lahan pertanian baru di Kalimantan atau daerah lainnya yang tidak memiliki modal-modal tersebut.
Oleh karena itu, misalnya dengan perjuangan wakil-wakil masyarakat Bali di DPR-RI, dukungan politik pemerintah secara nasional akan berpengaruh kuat. Jika saja lembaga pemerintahan di Bali berhasil menerbitkan kebijakan pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian ini, sehingga memiliki kekuatan politik dan hukum, akan banyak wilayah lain yang akan melakukan hal yang sama.
Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan Anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem