BANGLI, BALIPOST.com – IWAA (24), orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang menusuk ibu tirinya, NWR (48) hingga tewas di Payangan, Gianyar tercatat sebagai pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali. Namun, dia sudah 2 bulan terakhir tidak berobat.
Dia terakhir berobat ke RSJ 1 Juli lalu. “Setelah itu tidak pernah kontrol lagi,” ungkap Direktur RSJ Provinsi Bali dr. Dewa Gede Basudewa, Sp.Kj Senin (19/9).
Basudewa tidak dapat memastikan apa yang menjadi penyebab IWAA mengamuk menewaskan ibu tirinya. Menurut Basudewa ada dua hal yang umumnya menyebabkan gangguan jiwa pasien kambuh hingga melakukan tindakan di luar kendali.
Salah satunya karena ketidakdisiplinan pasien berobat. “Atau bahasa saya terputus pengobatannya,” ujarnya.
Supaya tidak kambuh, pengobatan pasien gangguan jiwa harus disiplin sesuai anjur dokter. Pasien harus dipastikan minum obat dengan betul.
Jumlahnya pun harus dikontrol. “Obatnya harus dipastikan sudah benar-benar dikonsumsi pasien,” kata Basudewa.
Selain karena tidak disiplin konsumsi obat, penyebab lain yang juga bisa memicu pasien mengalami kekambuhan karena adanya stresor atau tekanan di lingkungan. Seperti adanya hal yang membuat pasien marah, jengkel, sedih, kecewa atau putus asa.
Pasien gangguan jiwa, kata Basudewa, memiliki kelemahan dibandingkan dengan orang yang sehat. Pasien gangguan jiwa, perasaannya lebih sensitif, terkadang gampang cemas, mudah marah, sedih atau tidak sabaran.
Karena itu penting bagi keluarga dan lingkungan sekitar agar memperhatikan dan memahami hal-hal yang bisa jadi pemicu atau pencetus kambuhnya gangguan jiwa pasien. “Ini harus dikenali keluarga supaya bisa cepat diketahui. Supaya tindakan pasien tidak cepat berkembang menjadi di luar kendali,” kata Basudewa.
Sementara itu disinggung terkait kesadaran masyarakat Bali mengobati gangguan jiwa, Basudewa mengatakan cukup tinggi. Disampaikan Basudewa bahwa berdasarkan hasil riset kesehatan dasar 2013-2018, gangguan jiwa di Bali disebut tertinggi.
Meski demikian 97,8 persen orang dengan gangguan jiwa di Bali punya riwayat kontak atau berobat ke fasilitas kesehatan. “Itu artinya di Bali dilihat dari statistik dan gambaran makronya sudah terakses lah. Cuma sekarang masalahnya riset ini kan sifatnya pemotretan sesaat,” ujarnya.
Ia memaparkan gangguan jiwa adalah penyakit jangka panjang. Tidak serta merta membaik. “Perlu peran keluarga dan masyarakat bahwa pengobatan terhadap ODGJ tidak hanya butuh obat, tetapi juga harus memahami apa pemicu/pencetus seseorang dengan gangguan jiwa bisa kehilangan kendali. Itu harus dipelajari dan dijadikan keterampilan,” kata Basudewa. (Dayu Swasrina/balipost)