Tim yustisi saat mengamankan ODGJ yang mengamuk. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menurut data tahun 2018 lalu, sesuai riset nasional kesehatan dasar, Bali ternyata menempati posisi pertama proporsi untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat atau skizofrenia. Sebagai dampak pandemi yang melanda mulai 2020, diperkirakan jumlah ODGJ makin bertambah. Sayangnya dalam soal layanan kesehatan jiwa, Bali dinilai masih jauh dari kata memadai. Demikian disampaikan Psikiater, dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ saat wawancara di Bali Post Talk belum lama ini.

Menurutnya, data tahun 2018, di Bali, dari proporsi, 11 per 1.000 rumah tangga di Bali memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berat yang membutuhkan penanganan obat seumur hidup. Ia menganalisis saat pandemi tentu kasus juga meningkat. Apalagi stressor juga meningkat selama pandemi Covid-19.

Tentu hal ini butuh penanganan jangka panjang. “Saat pandemi dengan tekanan Ekonomi yang tinggi, tentu stressor nya juga tinggi. Apalagi yang sebelumnya belum sembuh saja  tidak bisa berobat akibat pandemi, tentu akan semakin parah,” kata Psikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) ini.

Baca juga:  Kasus Bertambah di Atas 130 Orang, Kumulatif Pasien COVID-19 Bali Lampaui 16.000 Orang

Lebih lanjut dikatakan, untuk gangguan jiwa berat biasanya disebabkan oleh banyak faktor. Selain faktor ekonomi, faktor keluarga, riwayat korban kekerasan, bullying, tentu bisa menyebabkan orang menjadi mengalami gangguan Jiwa.

Meski kasus gangguan jiwa cukup tinggi di Bali, namun ternyata layanan kesehatan jiwa masih minim. Pasalnya, kesehatan jiwa ini masih dianggap tidak menyebabkan kematian dan tidak menular, sehingga belum menjadi fokus utama pemerintah. “Sebenarnya gangguan jiwa ini lebih buruk, karena seseorang seolah sudah kehilangan kehidupannya, padahal nyawanya masih ada. Kondisi gangguan jiwa ini, juga meningkatkan risiko melakukan kekerasan dan melakukan bunuh diri,” kata dr Rai yang juga Founder Rumah Berdaya ini.

Selama ini ODGJ hanya “dikirim” ke RSJ Bangli. Setelah dinyatakan membaik akan dipulangkan. Namun, menurut dr. Rai saat kembali ke keluarga, perawatannya kembali diabaikan. Idealnya setiap kabupaten/kota di Bali memiliki panti rehabilitasi untuk ODGJ. Sementara di tingkat provinsi selain RSJ juga perlu keberadaan Panti Sosial Bina Laras.

Baca juga:  Karena Ini, Narkoba Senilai Rp 2 Miliar Dimusnahkan

Tak hanya gangguan jiwa, angka bunuh diri di Bali juga meningkat. Dari tahun 2020 sebanyak 68 orang, tahun 2021 meningkat menjadi 124 orang, atau hampir dua kali lipatnya. Memang kasus sebelumnya juga cukup tinggi, namun diperkirakan akibat pandemi, tekanan ekonomi, kasus bunuh diri juga  meningkat.

“Yang melakukan. Bunuh diri  bervariasi, dari remaja, dewasa, sampai lansia. Artinya banyan faktor yang menyebabkan, selain faktor pariwisata, lingkungan, dan sebagainya,” ucapnya.

Beberapa kasus bunuh diri lanjutnya, dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa berat. Namun hal ini kata dia masih bisa ditangani. Tapi perlu penanganan jangka panjang, bahkan ada yang sampai penanganan seumur hidup. Ketika mendapatkan penanganan, mereka ini bisa beraktivitas biasa seperti orang biasa.

Oleh karena itu, untuk penanganan kasus ODGJ, tentunya juga harus dilihat, seperti apa layanan kesehatan jiwa yang ada. Misalnya, dari stigma, berapa banyak orang mengalami gangguan jiwa, dan seberapa lama akhirnya mendapat pengobatan dan seberapa teraturkan orang bisa mengakses pengobatan. Orang dengan gangguan jiwa ini, meski sudah bisa beraktivitas biasa, namun harus terus dipantau, baik dipantau pengobatannya, dipantau aktivitasnya, tidak mendapatkan stigma, ini bisa menjadi contoh.

Baca juga:  SMAN 1 Rendang Bangga Jadi Tuan Rumah "BPGS"

“Ini termasuk disabilitas mental, perlu rehabilitasi sosial. PR kita masih panjang, dari masalah pelayanan kesehatan, tidak bisa hanya dilayani rumah sakit jiwa saja. Dari tingkat pertama, puskesmas tenaganya harus terlatih. kemudian pengobatan untuk jiwa tersedia sepanjang tahun. Rumah Sakit Umum Daerah, saat ini tidak ada tempat rawat inap untuk orang gangguan jiwa,” bebernya.

Belum maksimalnya penanganan orang dengan gangguan jiwa di Bali, memang karena belum menjadi fokus utama penanganan kesehatan. Kedepa pihaknya berharap, minimal harus memiliki Panti Bina Laras yang merupakan panti sosial khusus untuk disabilitas mental. “Di Bali memang belum ada sebaiknya itu dibuat, buka untuk membuang mereka, namun untuk merawat orang dengan gangguan jiwa yang tidak  ada keluarga,” ucapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN