John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa hingga 11 Agustus 2022, korban Covid-19 di seluruh dunia mencapai 585.086.861 orang termasuk korban meninggal dunia sebesar 6.422.914 jiwa. Sementara pemberian vaksin hingga 8 Agustus 2022, sudah mencapai 12.355.390.561 dosis.

Di Indonesia, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 melaporkan hingga 11 Agustus 2022, total kasus Covid-19 sebesar 6.267.137 orang, jumlah total korban sembuh ada 6.057.237 orang dan korban meninggal dunia sebesar 157.171 jiwa. Kementerian Kesehatan RI memprediksi puncak Covid-19 gelombang keempat di Indonesia terjadi pada pertengahan Juli 2022 meskipun puncak capaian ini tertunda. Artinya jumlah kasus Covid-19 masih bertambah dengan varian baru seperti Omicorn.

Kenyataan ini menegaskan pernyataan Sekjen WHO Tedros Adfanom Gebreyesus bahwa perjuangan melawan wabah Covid-19 masih jauh. Apakah ini mengisyarakatkan umat manusia harus terbiasa hidup dengan krisis akibat pandemi?

Nicholas A.Christakis, seorang dokter dan sosiolog dari Yale University, penulis buku Blue Print the Evolutionary Origines of A Good Society (2020) pernah menandaskan, Covid-19 berkemungkinan besar menjadi patogen pada spesies manusia, seperti influensa. Maka, selain mengandalkan vaksin, manusia perlu membiasakan diri dengan menjalankan protap tradisional yang dianjurkan, seperti rajin mencuci tangan, menggunakan masker ketika keluar rumah, melakukan social dinstancing atau menjauhi kerumunan, dan menjaga imunitas tubuh.

Baca juga:  Menepis Klaster Ruangan

Beraktivitas dari rumah, seperti masa lockdown memang bukan pilihan terbaik untuk seterusnya. Karena cara itu bertentangan prinsip evolusi manusia sebagai makhluk sosial  yang butuh berinteraksi dan bekerjasama dalam dalam menyelesaikan persoalan hidup, termasuk dalam mengatasi pandemi covid itu sendiri. Wujud fisik secara naluriah mendorongnya untuk selalu bergerak. Maka pembatasan ruang gerak dalam waktu yang lama, tentu menimbulkan berbagai persoalan baru, seperti KDRT, perceraian, kekerasan terhadap anak, yang ditengarai meningkat selama pandemi.

Virus Covid-19 awalnya memang menakutkan dan menimbulkan paranoid, namun lama kelamaan orang terbiasa dengan ketakutan itu. Ini analog dengan penduduk yang tinggal di lereng gunung berapi. Menakutkan di awal, tapi lama kelamaan menjadi hal biasa. Perasaan was-was tetap diperlukan, namun rasa cemas dan takut tak harus melumpuhkan. Life must go on. Justru dengan tingkat kewaspadaan itu, orang lebih siap melakukan langkah-langkah proteksi diri jika ancaman itu benar-benar terjadi. Selama wabah covid ini, kita menyaksikan kerjasama oleh berbagai lembaga lintas sektor baik di bidang kesehatan, dunia usaha, dan dunia pendidikan dalam menanggulangi wabah Covid-19. Petugas kesehatan menggunakan thermal scan untuk mengecek setiap pengunjung. Yang suhu tubuhnya normal diberi penanda hijau, dan yang suhu tubuhya tidak normal diberi tanda kuning. Ruang tunggu diatur dengan tempat duduk yang lebih berjarak, dan sebelum pemeriksaan dimulai para perawat menjelaskan protokol pencegahan penuliaran covid.

Baca juga:  Bali Menyongsong 2024

Di bidang usaha, nasabah mendapatkan relaksasi hingga kredit hingga Oktober 2020 melalui program restrukturisasi. Di bidang pendidikan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyiapkan skenario belajar dari rumah hingga akhir 2020. Hal itu dilakukan sebagai antisipasi, seandainya wabah corona belum berarkhir hingga akhir tahun. Tercatat 97,6 persen sekolah melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sepenuhnya, yakni guru dan siswa mengajar dan belajar dari rumah. Untuk mendorong belajar online, Kemendikbud juga telah meluncurkan program seperti Rumah Belajar  dan Belajar dari Rumah di TVRI dan RRI. Ada kekurangan di sana sini, misalnya ketika sejumlah wilayah masih mengalami kendala listrik, signal online, paket data, dll., tetapi krisis ini telah memberi kesempatan untuk terus belajar, terus maju sambil menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan.

Baca juga:  Kreator dan Ekosistem Kreatif

Bagi Indonesia, mencegah kasus dan kematian baru jauh lebih penting karena dikaitkan dengan sistem kesehatan. Tingkat kematian di Indonesia, pernah mencapai 9.4 persen dari total kasus Covid-19, melampaui tingkat kematian dunia yakni 6.1 persen. Bagaimanapun perang lawan pandemi Covid-19, belum usai. Ancaman resesi ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina yang menambah rumitnya persoalan. Maka, hemat penulis, yang terpenting ke depannya adalah membangun kesadaran untuk hidup dalam krisis yang datang secara tak terduga.  Falsafah ‘Vivere in periculoso” hidup dengan krisis hendaknya menjadi bagian dari proses pembentukan generasi muda.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN