Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Politik dan Keamanan, Ambeg Paramarta dalam acara Dialog Publik Rancangan Undang-Undang KUHP di Bali, Selasa (27/9). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP akan melindungi keberagaman. Demikian pandangan dari Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Politik dan Keamanan, Ambeg Paramarta dalam acara Dialog Publik Rancangan Undang-Undang KUHP di Bali, Selasa (27/9).

Bentuk perlindungan tersebut ada di Pasal 302 RUU KUHP yang mengatur larangan bagi setiap orang untuk melakukan permusuhan, kebencian dan hasutan untuk melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap pemeluk agama dan kepercayaan orang lain. “RUU KUHP mengatur sanksi bagi tindak pidana terhadap agama berupa permusuhan, kebencian, dan hasutan untuk melakukan pemusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan orang lain,” kata Ambeg.

Baca juga:  Dewan Pers Desak Proses Legilasi RUUKUHP Dilakukan Terbuka

Ia menambahkan bahwa pasal 302 RKUHP ini dirumuskan sesuai Pasal 20 ayat 2 Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sebagaimana masukan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Ini, untuk menjawab persoalan yang beberapa tahun belakangan sering muncul dalam persoalan toleransi terkait meningkatnya ujaran kebencian terhadap pemeluk agama atau kepercayaan orang lain.

Atas dasar itulah, RKUHP tetap menjamin kebebasan kebebasan berpendapat karena pasal tersebut tidak bisa dipakai untuk menjerat pandangan yang bersifat ilmiah atau obyektif. “Uraian tertulis atau lisan yang obyektif atau ilmiah, yang disertai penjelasan dengan usaha untuk menghindari kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, tidak bia dijerat dengan pasal tersebut,” tegas Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Politik dan Keamanan dalam keterangan persnya.

Baca juga:  Delapan Lembaga Tolak Proyek Tower Bali Crossing Segara Rupek

Ia juga menyebutkan RUU KUHP juga pengakuan dan penghormatan atas hukum adat. Ambeg menjelaskan, penegasan dan pengkompilasian hukum adat yang sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar, Hak Asasi Manusia, dan asas-asas hukum umum nanti diatur dalam Peraturan Daerah.

Dalam RUU KUHP, pengaturan sanksi bagi pelanggaran atas hukum yang hidup pada suatu daerah adalah berupa pemenuhan kewajiban adat (Pasal 601), yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah), dan dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti rugi, apabila kewajiban adat setempat itu ternyata tidak dijalankan (Pasal 96)

Baca juga:  Biaya PCR Diturunkan, Ringankan Beban Wisatawan Berkunjung ke Bali

Pengaturan living law dalam RUU KUHP itu sesuai pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, sebagai delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur UU.” ((kmb/balipost)

BAGIKAN