Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Sejauh-jauhnya orang merantau akhirnya kembali ke kampung halaman. Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga.

Bagi setiap orang yang mencari nafkah di kota dan lama atau jarang pulang, maka mudik menjadi momentum yang luar biasa. Dua Lebaran berlalu karena diganggu pandemi COVID-19.

Lebaran tahun ini dalam hitungan jari, dan saat ini arus mudik bahkan sudah terasa di beberapa ruas jalan menyeruak hingga ke desa-desa. Itulah kemudian, sudah sejak awal para perantau ini menyiapkan diri dengan menabung, beberapa rupiahnya tentu saja digunakan untuk membeli tiket pesawat atau kereta atau cukup untuk beli BBM selama perjalanan menuju kampung halaman.

Puluhan juta pemudik terlibat dan sangat menikmati selebrasi tersebut. Paras-paras bergembira mengusung gemerlap kota menusuk-nusuk desa, seperti soal fashion.

Tak jarang mereka membawa berkoper-koper pakaian dengan model maupun merk kesohor dan tentu harganya fantastis juga. Acap para pemudik ini menjadi bintang iklan sebuah produk dan gratis bahkan mereka sendiri dengan senang hati atau malah kepingin mempertontonkan bahwa dirinya mengenakan pakaian-pakaian yang tidak murah.

Tak ketinggalan, untuk mobil atau motor yang dibawa mudik pun tak sedikit yang tergolong mewah dan baru bagi ukuran desa. Entahlah kendaraan tersebut punya sendiri atau sekadar sewa (rental).

Baca juga:  Urbanisasi dan Beban Ibu Kota

Tapi setidaknya, pemandangan glamour melata saat itu. Bahkan ada yang serombongan keluarga besar menyewa bus besar dan berhari-hari menemani dan parkir di wilayah perdesaan.

Pulang kampung alias mudik, sebagai siklus tahunan ini memang menarasikan kebahagiaan yang tak terbayar dengan cara apapun. Di luar itu, tradisi mudik yang sudah membudaya ini tak bakal pernah bisa dihapuskan di muka bumi, meski kemajuan IT melindas, lalu lintas medsos berseliweran dengan berbagai ucapan selamat Idul Fitri dan permohonan maaf.

Masyarakat jauh akan lebih merasa bahagia dan bangga saat ia bisa bertemu langsung dengan sosok yang dirindukan, yakni orangtua, mertua, maupun
orang yang dituakan pun mewakili orangtua. Saat anak tak bisa sowan (datang menghadap dan bersimpuh) dan ujung (mohon maaf) kepada orangtua, ia tetap merasa bersalah meskipun sudah melayangkan minta maaf lewat dunia maya.

Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan. Maka lahirlah Trias Vann, yakni Irigasi, Migrasi dan Edukasi.

Baca juga:  Coronavirus dan Ketahanan Ekonomi Bali

Mudik itu hangat, mungkin saja para perantau ini selalu merasa berhutang kebaikan alias hutang budi dirinya kepada orang tua, sesepuh, desa juga masyarakat setempat sebagai tanah kelahirannya. Maka tidaklah naif jika pemudik ini berusaha melakukan timbal balik membalas budi dengan cara memasok bantuan berupa dana, tenaga juga ide untuk
pembangunan desa. Membuka lapangan kerja buat anak muda desa.

Atas perilaku pemudik ini, di desa khususnya terjadi dampak perubahan bagi masyarakat lokal. Inilah politik etis regular tahunan kita yang bicara.

Pada pandemi kemarin tak sedikit yang mudik uangnya, orangnya tetap tinggal di kota. Dampak kasat mata, pemudik yang pasti memberi perubahan ekonomi warga dengan perputaran uang di desa, setidaknya UMKM.

Penjaja makan, pedagang mainan anak, petani sebagai produsen bahan baku, warung pulsa, dan toko-toko sembako di perdesaan. Kemudian, pada jangka medium, hadirnya pada pemudik di desa-desa juga membawa dampak positif lain, yakni pembangunan infrastruktur desa, investasi ke desa, membuka taman baca desa, pelatihan IT desa, misalnya.

Baca juga:  Temani Perjalanan Mudik, Daihatsu Siapkan 71 Bengkel dan 8 Pos Siaga

Singkatnya, betapa bahagia mudik itu ada transfer of knowledge atas ilmu mereka yang di apat di kota, misalnya berbagi tips sukses atau success story, best practice, sehingga tak saja menginspirasi tapi juga sekaligus bisa mendampingi bisnis atau usaha rintisan sebagai start up meskipun lokusnya di pelosok perdesaan.

Maka penting atas eksistensi dan keberlanjutan asosiasi atau paguyuban keluarga perantau di kota-kota besar, nampaknya layak dan masih relevan diberdayakan dalam rangka politik balas budi ke desa, membangun desa, merawat kerukunan,
menyejahterakan anggota dan menjaga moderasi desa tanpa menafikan nilai keutamaan kedesaan.

Ini semua bakal turut memangkas defisit sosial kita. Akhirnya, jangan sampai berkembang sorotan bahwa pemudik hanya bagian dari masalah tapi harus menjadi bagian atas solusi.

Untuk itu, perantau yang secara regular mudik saban tahun manajemennya perlu ditata sedemikian rupa, agar memberi daya hidup bagi desa, sebagai supporter bukan spoiler pembangunan.

Penulis Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN