Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Kritik terhadap layanan imigrasi disampaikan Presiden Jokowi melalui kanal youtube Sekretariat Presiden (10/9). Presiden menyatakan, imigrasi kerap mempersulit visa on arrival dan Kartu Izin Tinggal Terbatas. Keluhan lain dari traveler terkait proses pengurusan paspor. Momentum ini dapat dimaknai memberikan dukungan kepada imigrasi untuk terus meningkatkan kinerjanya.

Imigrasi merupakan dirjen pelayanan yang berkontribusi pada penerimaan negara. Pelayanan visa on arrival untuk wisata dan eazy passport misalnya, berkontribusi terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 2022 sebesar Rp2,005 triliun.

Apresiasi kepada imigrasi pernah terjadi menyertai keputusan mendeportase warga negara Amerika Serikat, Kristen Grey, dari Indonesia. Keputusan itu menghentakkan kesadaran kita akan dua hal penting. Pertama, terkait kualitas wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Kedua, pentingnya peran dan kinerja imigrasi dalam menjaga martabat bangsa dari perilaku buruk orang asing yang bertamu ke negeri ini. Dua aspek ini saling terkait untuk melakukan transformasi dari quantity menuju quality tourism. Paras wisata yang berkualitas jelas meniscayakan wisatawan asing yang ‘berkualitas’ dengan pemenuhan dua perspektif tersebut.

Maka, wisata yang berkualitas mempertemukan antara supply-demand yang saling membutuhkan. Di sisi supply, model wisata yang berkembang akan mengikuti ritme dan irama wisata yang berkualitas, di antaranya industri MICE (meeting, incentive, convention, exhibition) dan tiga model wisata yang tumbuh di masa pandemi: ecotourism, wellness tourism, nature tourism. Di sisi demand, ‘gesture’ wisatawan yang berkualitas tercermin pada profil wisatawan asing yang tentu saja ‘high profile’. Namun tak hanya itu, ada juga pada mereka yang well educated, tidak sekadar berorientasi leisure tourism tetapi mencari pemenuhan kebutuhan experiential tourism di Indonesia.

Baca juga:  PKB, Penguatan Identitas dan Pemantik Kreativitas

Pertemuan supply-demand wisata yang berkualitas di Indonesia, eksplisit dalam kebijakan Presiden Jokowi yang menetapkan 10 Bali Baru, kemudian dipertajam menjadi 5 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional untuk menciptakan destinasi andalan yang baru, yakni Toba, Likupang, Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo. Penyediaan atraksi wisata baru, diikuti infrastruktur dan aksesbilitas, akan mendorong permintaan baru. Di sinilah letak strategis kinerja imigrasi dalam mengawal pariwisata Indonesia yang berkualitas. Esensi dari hospitality telah bertransformasi pada setiap layanan yang ingin ‘menyentuh’ dan ‘memenangkan’ hati banyak orang, karena itu secara operasional praktek hospitality dalam kinerja imigrasi mengawal pariwisata Indonesia yang berkualitas dapat menggunakan lima dimensi kualitas jasa yang dirumuskan Parasuraman (1988).

Pertama, reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan. Kedua, responsiveness, kesiapan dalam membantu pelanggan dan memberi pelayanan yang cepat dan tanggap. Ketiga, assurance, pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, ketrampilan memberikan informasi, dan sebagainya. Keempat, empathy, perhatian secara individu kepada pelanggan seperti kemudahan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan, kemampuan berkomunikasi dengan pelanggan. Kelima, tangibles, penampilan fasilitas fisik, mencakup kebersihan, kerapihan dan kenyamanan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan pelayan.

Baca juga:  Dilema Hukum dan Keuangan Dalam Kasus LPD

Untuk mengesekusi lima dimensi kualitas layanan guna menghadirkan nilai hospitality, setiap elemen dalam organisasi imigrasi dapat menggabungkan muscle memory dengan brain memory yang dikenalkan Rhenald Kasali (2010) dalam konsep Myelin.

Imigrasi yang semakin menghadirkan hospitality, niscaya menggabungkan muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot manusia yang terbentuk karena latihan yang terus menerus dan secara mendalam dan brain memory yang terbentuk dari pengetahuan. Gabungan keduanya diyakini akan menghadirkan kinerja imigrasi yang semakin bermutu, melalui gesture, kecepatan, spontanitas, sikap action oriented, inisiatif, respons, disiplin, intrapreneuring dalam mengawal keluar masuk para tamu asing, khususnya, yang datang berwisata ke Indonesia.

Terakhir, implementasi hospitality melalui kualitas layanan yang bermutu dan menggabungkan muscle memory dengan brain memory, niscaya akan menjadikan imigrasi yang semakin bermutu, berkelanjutan, dicintai rakyat Indonesia, dan menjadi wajah negeri yang indahini. Sebagai garda terdepan dalam memberikan layanan pada tamu mancanegara, hospitality yang kian hadir di imigrasi akan mendekatkan organisasi ini dengan aspek yang dirumuskan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dikenal dengan The Seven Principles of Public Life.

Baca juga:  Politik Ekologi Restorasi Ekosistem

Good corporate governance (GCG) akan menjadi ‘buah’ dari implementasi nilai hospitalitydi imigrasi, dengan parameter utama yang niscaya diterapkan yakni: tidak mementingkan dirisendiri, integritas, obyektivitas, keterbukaan, kejujuran, kepemimpinan, dan akuntabilitas (Indrajit,2003:291). Secara umum istilah GCG merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari “nilai-nilai” yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition), seperti, komitmen, aturan main, serta praktik penyelenggaraan bisnis secara sehat dan beretika. Ada kesesuaian dan kolaborasi antara GCG dan hospitality. Kiranya,imigrasi semakin mengarah sebagai organisasi layanan berbasis pada nilai hospitality, semakin memperkuat cita-cita bangsa dalam menghadirkan pariwisata Indonesia yang semakin berkualitas.

 

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN