TABANAN, BALIPOST.com – Layaknya sudah menjadi kepercayaan (tradisi) turun temurun, Desa Adat Buwit, Desa Buwit, Kecamatan Kediri, Tabanan sampai saat ini tidak melakukan upacara ngaben (prosesi pembakaran jenazah). Krama Buwit menyiasati ngaben dengan cara mengubur jenazah.
Di mana untuk prosesi ngaben tetap dilaksanakan seperti biasa, menggunakan bade dan lembu serta upakara lainnya. Hanya saja, rangkaian prosesi ngaben ketika tiba di Setra Gede Buwit, jenazah akan dikuburkan.
Bendesa Adat Buwit, I Gusti Alit Putu Widana menjelaskan sampai saat ini terkait dengan purana (sejarah) dari tradisi ini memang belum diketahui, hanya saja karena sudah dilakukan secara turun temurun, ngaben tanpa api ini masih terus dilakukan. Hanya saja sebatas yang ia ketahui terkait dengan kepercayaan ini, tidak terlepas dari keberadaan Setra Gede Buwit. Dimana, lahan setra Gede Buwit masih masuk wilayah Desa Adat Beraban.
“Zaman dulu dipercaya saat melakukan pembakaran mayat di Setra Buwit, asapnya bisa tertiup angin sampai di Pura Tanah Lot, untuk itu pembakaran mayat tidak dilakukan. Selain juga, memang sudah kehendak-Nya, karena apapun aktivitas yang melibatkan api tidak bisa dilakukan di Setra Gede Buwit,” jelasnya.
Kepercayaan ini semakin dikuatkan saat ada kejadian kebakaran lahan di musim kemarau, dimana lahan di areal setra gede Buwit tidak ikut terbakar. Seolah ada garis pemisah yang menghentikan api kebakaran lahan di sekeliling areal Setra Gede Buwit.
“Pernah sekitar 10 tahun lalu ada kebakaran hebat, lahan di sekitar setra habis terbakar, anehnya api padam di sisi terluar setra, seolah ada garis tak kasat mata yang memisahkan lahan yang terbakar dengan areal setra gede, padahal secara kasat mata tidak ada pembatas sama sekali, percikan api langsung padam begitu menyentuh sisi terluar setra,” terangnya.
lantaran tidak ada prosesi ngaben di setra gede buwit, maka janasah hanya dikuburkan. Liang lahat untuk jenazah yang diaben posisinya bebas, hanya saja tanah bekas kuburannya harus rata dengan tanah dan tidak dibuat bergundukan atau ada penanda seperti nisan dan yang lainnya.
Kalau untuk prosesi nganyut, biasanya kami ambil secara simbolis saja, bisa itu tanah atau bagian lain dari apa yang di pekuran tersebut, itulah yang di-reka dan selanjutnya dianyut ke segara, sedangkan bade atau wadah bekas ngaben langsung di bakar di luar areal setra,” paparnya.
Meski merupakan setra gede dan tradisi ngaben tanpa membakar mayat sudah dilakukan secara turun temurun, namun Alit Widana mengakui jika ada sebagian maayarakat yang masih menginginkan prosesi ngaben seperti pada umumnya atau dibakar. Krama desa pun sejak tahun 1950-an sepakat membuat satu setra lagi terletak di sisi barat desa adat Buwit.
Artinya, saat ini desa Buwit yang terdiri dari enam banjar adat ini memiliki dua Setra, yakni Setra Gede Buwit yang tidak boleh membakar mayat dan Setra Klakahan yang boleh membakar mayat. Begitu juga dengan pura Dalem ada dua, namun Pura Desa dan Pura Puseh masing-masing satu.
“Namanya Setra Klakahan, disini krama yang ingin ngaben seperti pada umumnya atau dengan prosesi dibakar bisa dilakukan,” ungkapnya. (Puspawati/balipost)